JAKARTA - Pada 7 September 2004, seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), pembela kaum buruh, pemerhati hak buruh migran Indonesia, bernama munir tewas di dalam pesawat Garuda, ketika hendak melanjutkaN pendidikannya di Belanda.
Kini sudah tujuh tahun berlalu. Kematian Munir masih misteri. Sehingga, ada anggapan pemerintah dinilai tidak tuntas dalam menyelesaikan kasus ini. Untuk mengingatkan kembali publik atas kematian Munir, Komite Solidaritas untuk Munir (Kasum) menggelar aksi bersama di Istana, hari ini.
Pemilik nama lengkap Munir Said Thalib itu menghembuskan napas terakhir setelah terkonsumsi racun arsenik. Pemerintah Belanda, ketika itu langsung melakukan auopsi atas jenazah almarhum. Usai autopsi, pihak keluarga almarhum mendapat informasi dari media Belanda bahwa hasil autopsi Munir oleh Institut Forensik Belanda (NFI) membuktikan bahwa Munir meninggal akibat racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal.
Namun hingga kini belum jelas zat kimia arsenik dimasukkan oleh siapa, atas perintah siapa. Otak dibalik pembunuhan ini masih gelap karena kasus ini diduga sarat dengan rekayasa intelijen. Selain mendapat sorotan dari penggiat HAM lokal, kematian Munir juga mendapat perhatian besar dari dunia internasional. Pasalnya, Munir sangat getol melakukan kajian dan pelaporan soal HAM yang kontra pemerintah, terutama kondisi HAM di Nangroe Aceh Darusalam (NAD), Papua, konflik Ambon hingga Sulawesi Tengah.
Aktivitas Munir ini banyak mendapat simpati dari aktivis lokal maupun internasional. Sebab itu, ada dugaan karena aktivitas HAM inilah menjadi motif dan sebab Munir dibunuh. Seperti testimoni Suripto, mantan staf Kepala Bakin, motif pembunuhan Munir untuk mencegahnya menyerahkan bukti-bukti pelanggaran HAM ke pihak-pihak tertentu di Belanda.
Asumsinya, jika informasi tersebut sempat diserahkan Munir, akan membahayakan oknum tertentu yang saat itu menjadi petinggi Badan Intelijen Nasional (BIN). Namun pernyataan Suripto ini dibantah oleh Deputi II BIN Bidang Pengamanan, Manunggal Maladi.
Terkait kematian Munir, Presiden Soedilo Bambang Yudhoyono membentuk tim pencari fakta (TPF), selain langkah penengak hukum yang menyeret para tersangka ke meja hijau. Namun dunia internasional masih meragukan hasil temuan TPF dan proses persidangan di pengadilan Indonesia. Kritikan pedat salah satunya datang dari LSM Amnesti Internasional (AI) di London.
Dalam pandangan Wawan Purwanto, pengamat intelijen, kasus Munir sudah melewati proses hukum dan ditangani secara yuridis-formal. "Sudah ada yang ditangkap, ada tersangkanya malah sudah ada yang dipidana. Dan masing-masing pihak juga melakukan uapya peninjauan kembali," katanya kepada okezone, Rabu (7/9/2011).
Menurut Wawan, proses hukum yang berlangsung, temuan-temuan dan fakta persidangan menjadi bahan pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara rumit ini. "Hakim mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu," jelasnya.
Masih adanya upaya hukum terakhir dari para pihak akibat ketidakpuasan, menurut Wawan, hal itu adalah biasa. "Di pengadilan itu ada yang puas dan tidak, ini wajar. Jika masih ada keinginan maksimal untuk melakukan upaya hukum terakhir, ya diajukan saja agar bisa diungkap," ujarnya.
"Surat atau permintaan dari pihak manapun boleh saja," jawab Wawan saat diminta tanggapannya soal surat dari LSM AI kepada Jaksa Agung Basrief Arief. Dalam surat terbuka itu, AI mendesak Kejagung agar memulai penyelidikan baru yang independen atas pembunuhan Munir. Kemudian, membawa para pelaku di semua tingkatan ke hadapan hukum sesuai dengan standar HAM internasional.
LSM AI juga meminta peninjauan atas proses peradilan kriminal pembunuhan Munir sebelumnya, publikasi laporan TPF tahun 2005 tentang pembunuhan Munir, dan mengambil langkah efektif untuk menjamin pelanggaran HAM terhadap para pembela HAM akan diadili dalam peradilan yang adil.
Kendati demikian, kata wawan, adanya surat itu semuanya terpulang kepada Kejagung untuk merespons atau tidak permitaan LSM tersebut. "Tentu Kejagung punya pertimbangan lain," imbuhnya.
Menurut Wawan, penyelidikan terhadap kasus Munir bisa dibuka lagi jika memang dipandang perlu dan ada fakta, bukti-bukti baru atau novum yang kuat. "Kalau tidak ada novum justru Kejagung melakukan pelanggaran karena ada dua penyelidikan dan persidangan terhadap kasus yang sama," terangnya.
Sementara itu anggota Komisi III DPR Nudirman Munir mempertanyakan kinerja aparat kepolisian dan kejaksaan dalam menangani kasus Munir. "Kalau kasus Munir itu kan di penegak hukum. Diserahkan ke Kejaksaan dan Kepolisian. Sejauh mana Kejaksaan dan Kepolisian menindaklanjuti itu," ujar Nudirman.
Penuntasan kasus Munir tersendat karena pihak kejaksaan dan kepolisian yang tidak memiliki keinginan untuk menyelesaikan. Dia berharap kasus ini segera ditindaklanjuti agar tidak hanya membuang biaya-biaya besar dalam penelusuran kasus tersebut. "Ini berada di ranah kepolisian dan kejaksaan seharusnya ditindaklajuti karena kalau tidak ini terus menimbulkan 'ATM' berjalan," pungkasnya.
Diketahui, MA telah memutus PK yang diajukan Kejaksaan Agung terkait kasus Munir. Dalam PK tersebut diputuskan Polly bersalah dalam kematian Munir. Polly pun divonis 20 tahun. Selain Polly, mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Mayjen (Purn) Muchdi Pr juga dihadapkan ke pengadilan. Muchdi divonis bebas.