Seperti  biasa, setiap tahun organisasi kami, Mahasiswa Pecinta Alam, pada  sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, selalu mengadakan diklat atau  pelatihan untuk calon anggota baru. Kali ini, kegiatan tersebut  diadakan di gunung Salak, Sukabumi. 
Dari  awal pemberangkatan menuju lokasi pertama, keadaan baik-baik saja.  Semua berjalan sesuai schedule yang telah ditetapkan panitia. Kebetulan,  aku menjadi mentor pembimbing untuk 1 grup, yang terdiri dari Keni,  Irfan dan Agung. Tugasku adalah mengawasi dan membimbing mereka selama  dalam pendakian. Sedangkan 2 grup lagi, dipimpin oleh Bayu dan Hendi.  Jumlah peserta termasuk senior dan panitia tak kurang dari 20 orang.
Perjalanan  menuju lokasi pendakian pertama ditempuh sekitar 2 Km. Itupun baru  tahap pemanasan. Para catas (istilah untuk calon anggota) harus berjalan  sejauh 2 Km. dengan membawa beban carrier rata-rata 9 – 12 Kg/orang.  Selama dalam perjalanan, tampak sekali aku lihat para catas ini sangat  kelelahan. Apalagi Keni yang kebetulan catas wanita satu-satunya. Ketika  perjalanan mulai memasuki perhutanan, terjadi sedikit kekacauan pada  Keni. Tiba-tiba dia ketakutan sambil memegang tangan rekan sesama cates.  
“Ada apa Ken?” tanyaku, agak jengkel juga.
“Lihat, Kak Ida! Di sana ada orang tinggi besar menghadang jalan kita,” jawab Keni. 
Tangannya  gemetar menunjuk ke depan. Tapi aku dan yang lainnya tidak melihat  orang yang dimaksudnya.  “Mana Ken, kamu jangan bercanda ya. Ayo, kita  jalan lagi!” perintahku.
“Tidak…tidak! Aku takut, Kak!” bantah Keni, setengah merengek.
“Kalau  kamu tidak melanjutkan pendidikan ini, kamu batal jadi catas. Lagian  kamu jangan nyusahin gitu, dong!” kataku mengingatkan. Keni hampir  menangis. Untunglah, karena bujukan dari beberapa teman catas dan  semangat dari para senior, akhirnya dia mau melanjutkan perjalanan.
Untuk  menuju titik pendakian pertama, jalan yang kami lalui sudah sedikit  sulit, apalagi para senior cowok harus membuka jalur terlebih dahulu.  Ditambah lagi rute yang becek dan licin karena seringnya turun hujan.  Ketika hari menjelang sore, kami harus mencari lokasi peristirahatan.  Setelah mendapat lokasi yang cukup baik, kami mulai memasang tenda. Ada  sebagian yang membuat makan malam, dan tak lupa membuat perapian untuk  penerangan dan menghangatkan badan. Setelah rapi semuanya, para senior  mengumpulkan catas untuk evaluasi dan pelaksanaan jadwal besok hari.  Waktu itu, jelas sekali kulihat wajah Keni yang pucat dengan pandangan  kosong. 
“Kamu kenapa, Ken?” tanyaku, tapi Keni diam saja. 
Untuk  kedua kalinya aku bertanya, “He, ngapain kami bengong saja. Masuk nggak  tuh pelajaran?” bentak Jawir sebagai panitia pelaksana lapangan.
Keni tersentak kaget. “I…iya, Kak!” geragapnya. 
Setelah  evaluasi selesai, para catas dipersilahkan kembali ke tendanya  masing-masing. Begitu juga dengan para senior. Namun, belum sampai  setengah jam kami beristirahat, tiba-tiba terdengar suara Keni berteriak  keras. “Tolooong…!!” Sontak kami berhamburan keluar menghampiri  tendanya. Apa yang terjadi? Kami melihat wajah Keni berubah menyeramkan.  Matanya melotot ke atas. Ketika salah seorang dari kami menanyakan  keadaannya, tiba-tiba Keni malah tertawa keras. Namun, itu bukan suara  tawanya yang asli. Tawa itu seperti suara seorang lelaki. Lebih aneh  lagi, Keni juga bisa tertawa dengan suara wanita cekikikkan mirip Mak  Lampir dalam sintron. Akhirnya, kami sadar kalau Keni kerasukan.
“Siapa kamu ini sebenarnya?” tanya Jawir yang memang paling senior dari kami. 
Keni  tertawa dan menyeringai. “Aing nu boga tempat ieu (aku yang punya  tempat ini),” jawabnya dengan suara bariton yang berat milik laki-laki.
“Kami mohon maaf apabila berbuat kesalahan. Tapi tolong bebaskan teman kami ini. Dia tidak tahu apa-apa,” bujuk Jawir.
Keni  hanya diam. Anehnya, beberapa saat kemudian Keni berubah tenang. Namun,  ketika aku memintanya itirahat di dalam tenda, tiba-tiba Keni kembali  lagi berteriak dan meronta-ronta. Sontak Jawir mendekap tubuh Keni.  Bahkan karena takut terjadi sesuatu, kami bersepakat mengikat kaki dan  tangan Keni. Ya, kami takut Keni akan lari dan masuk jurang. Sampai pagi  harinya, kami tidak tidur hanya menunggui Keni yang sebentar-bentar  kerasukan dan mengamuk. Namun, karena schedule harus dilaksanakan, maka  kami harus berkemas untuk menuju lokasi berikutnya. 
Kali  ini, rute yang kami tempuh sangat sulit. Hujan yang turun mengakibatkan  jalan setapak becek dan licin, sehingga kami harus ekstra hati-hati.  Karena sulitnya medan, perjalanan kami jadi sangat lambat dan  melelahkan. Akhirnya kami memilih berhenti ketika melihat Keni tiba-tiba  terjatuh. Beberapa peserta lelaki membopong tubuh Keni yang terjatuh.  Anehnya, Keni meronta-ronta sambil mendengus seperti seekor harimau.  “Aku suka dengan anak ini!” kata makhluk itu dengan suara sangat  menakutkan.
Kami kembali sibuk mengurusi Keni. Rupanya demit ini menyukai Keni dan selalu mengikutinya.
Dengan  sisa-sisa keberanian para senior bergantian mengintrogasi si demit yang  tentu saja dengan bahasa Sunda. Akhirnya, diketahui mengapa demit itu  selalu mengikuti Keni. Rupanya, Keni telah membuang bekas pembalut  sembarangan. Demit tersebut sangat bandel, tidak bisa disuruh keluar.  Hal ini memaksa Sapri, senior yang mengerti spiritual mengusir dengan  doa-doa. Tetapi tetap saja demit itu bersamayam di tubuh Keni. 
Aku  yang tak tega melihat Keni, langsung membacakan doa-doa ditelinganya.  Ketika baru selesai, tiba-tiba mata Keni melotot ke arahku sambil  tertawa dengan suara lelaki yang mengeramkan. “Kamu gadis cantik  sekali…!” kata demit yang bersemayam dalam tubuh Keni. Sontak aku  menjauhi Keni, karena dia sepertinya ingin menyentuhku. Dengan sigap  pula Ema, teman seniorku, langsung menutup mata Keni karena pandangannya  tak lepas dariku.
Karena  keadaan Keni yang tambah buruk, pendakian akhirnya kamu tunda. Kami pun  kembali membuka tenda. Jadwal yang telah disusun tidak terlaksana  dengan baik. Pagi harinya, tepatnya hari ketiga, kami kembali lagi  berkemas untuk menuju lokasi berikutnya. Sebelum berangkat Hendi, teman  kami, melihat ada seekor anjing berbulu putih di balik semak-semak. 
“Aneh, kok ada anjing hutan menghampiri tenda kita?” tanya Hendi.
“Mungkin saja dia mencium makanan yang kita bawa,” jawab Sapri. 
Tanpa  menaruh curiga, kami pun segera melanjutkan pendakian. Kali ini  pendakian benar-benar sulit. Selain cuaca yang tidak mendukung karena  hujan turun dengan lebatnya, juga kondisi peserta yang mulai kurang vit.  Hal yang tidak masuk akal, di tengah perjalanan, dan derasnya hujan  yang memaksa kami harus ekstra hati-hati itu, aku dikagetkan dengan  kemunculan Keni yang tiba-tiba berjalan dengan cepat dan sudah berada di  depanku. 
“Yang lainnya mana, Ken?” tanyaku, tanpa menaruh curiga. 
“Mereka masih jauh, Kak. Ayo, kita jalan duluan dan tetap semangat, Kak!” 
Kata-kata  Keni ini membuatku heran dan penasaran. Namun, aku hanya terdiam sambil  terus berdoa memohon perlindungan Yang Maha Kuasa. Akhirnya, aku dan  Keni menyusul rombongan terdepan. Tapi aku heran karena semak yang kami  pangkas untuk dilewati, bisa tertutup kembali dengan sendirinya.
“Kita  tunggu yang lainnya,” kata Jawir yang sudah berhasil aku susul bersama  Keni. Tak berapa lama, rombongan paling belakang telah sampai. 
“Bagaimana ini, jalur yang sudah dipangkas, kok bisa tertutup kembali?” tanya Jawir ke Eko sebagai ketua rombongan.
“Sudahlah, kita pangkas lagi di tempat yang tadi juga!” ujar Eko yang mencoba tetap tenang. 
Seringnya  terjadi keanehan, membuat kami harus berjalan beriringan jangan sampai  terpisah jauh. Karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 
Sementara  itu, sambil terus berdoa, tak sedetikpun pengawasanku lepas dari Keni  yang kulihat ada kejanggalan pada dirinya. Karena kondisi yang tak  memungkinkan dan haripun menjelang sore, kembali kami membuka tenda di  lokasi yang tidak sesuai rencana kami sebelumnya.
Hari  keempat ini kami mengalami pendakian yang letihnya tiada tara. Ketika  hari menjelang Maghrib, tiba-tiba kembali tubuh Keni dirasuki demit yang  selalu mengikutinya. Keni meronta-ronta dan menendangi siapa saja yang  dekat dengannya. Untunglah, Jawir dan Sapri dengan sigap menelikung  tubuh Keni yang kecil itu. Karena tenaga Keni berubah sangat kuat, maka  para senior dan para catas pun ikut memeganginya. Mereka membopong Keni  ke tenda panitia yang lebih besar. Apa yang terjadi selanjutnya? 
Sangat  sulit dibayangkan. Tubuh Keni terus meronta dan menendangi sambil terus  mengoceh dalam bahasa Sunda. Tujuh tenaga lelaki tak sanggup  menahannya. Setelah tak ada yang sanggup memegangginya, sbentar-bentar  tubuh Keni terangkat ke atas dan melayang-layang, seperti tertarik oleh  kekuatan tak kasat mata. Beberapa teman senior berusaha menahannya. Keni  berteriak keras dan tentu saja membuat kami yang wanita menangis  histeris.
“Tolong….jangan bawa aku!” teriak Keni.
Kenyataan  yang tak masuk akal terus saja terjadi. Keni seperti mengalami  penyiksaan. Sebentar tubuhnya melayang, namun sebentar kemudian jatuh  terempas ke tanah. Melihat kejadian ini, tak henti-hentinya kami  mengumandangkan takbir. Sedang aku sendiri tak tahu lagi harus berbuat  apa. Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya.
Sampai  lewat tengah malam, demit itu seolah terus menyiksanya, bahkan lebih  sadis lagi. Kali ini, kemarahan sang iblis tak terbendung lagi. Wanita  mana saja lengah, pasti akan diserang. Aneh sekali! Walaupun dalam  penyiksaan yang tiada tara, tapi terkadang Keni tersadar bila demit itu  keluar dari tubuhnya. 
“Ema..awas  dia mau masuk ke tubuh kamu!” teriak Keni memperingatkan Ema. Kesal  dengan peringatan itu, membuat demit itu marah luar biasa. Kembali dia  menyiksa Keni dengan ulahnya yang semakin menjadi-jadi. 
Mony  yang sedari tadi sibuk dengan komat-kamitnya dengan spontan langsung  mengumandangkan adzan pada jam setengah tiga pagi. Tiba-tiba keadaan  menjadi hening, karena suara adzan. Kami yakin demit itu takut dengan  adzan. Dia mungkin telah pergi meninggalkan tubuh Keni. Alhamdulillah,  kami bersyukur karena Allah masih melindungi kami. Tapi, dugaan kami  salah. Sepertinya demit itu sadar, kalau dia hanya dikerjai oleh adzan  Mony. Dia kembali dengan ganas dan menyiksa Keni, bahkan kali ini tak  luput Mony kena sedikit bogemnya.
“He, kamu tidak takut dengan Allah?!” bentak Jawir.
“Tidak!” jawab demit itu meminjam mulut Keni.
“Masuk neraka kamu! Kafir kamu!” susul Sapri.
Iblis malah tertawa dengan sangat menyeramkan. 
Pagi  harinya, kami selaku panitia memutuskan untuk kembali turun mencari  perumahan penduduk, dengan maksud untuk menyelamatkan Keni, karena  walaupun hari telah pagi, demit itu tetap mengikuti dan menyiksa Keni.  Perjalanan turun diwarnai dengan pertarungan yang hebat, bahkan aku yang  berlari paling belakang sempat carrier ditarik demit sialan itu,  hampir-hampir aku terjerembab jatuh.
Bahkan,  lewat mulit Keni demit itu mengancam bila telah lewat siang hari dia  akan mengundang teman-temannya yang lebih banyak lagi. Ketika kami  hampir sampai di pemukiman penduduk, tiba-tiba demit sial berpindah  merasuki tubuh Rani.
“Jangan….!”  teriak Rani sambil menangis histeris. Rupanya, dengan jelas Rani melihat  makhluk tinggi besar hitam dan berambut panjang itu. Karena tersadar,  demit itu tidak berhasil merasuki tubuh Rani. 
Singkat  cerita, akhirnya Keni ditangani salah seorang supranturalis di kaki  gunung Salak. Setelah ditangani, keadaan Keni mulai tenang dan tidak  kacau lagi. Setelah itu kami memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta.  Syukur Alhamdulillah, demit itu sudah tidak mengganggu lagi.
Dalam  perjalanan pulang, aku yang tertidur di bus bermimpi Keni diikuti demit  itu sambil menyeringai ke arahku. Sontak aku terbangun. Rupanya, Keni  kembali mengamuk di bus. Sampai di kampus, Keni langsung dibawa ke orang  pintar. Orang pintar tersebut mengatakan, bahwa makhluk itu dulunya  seorang jawara sakti dan melarikan diri ke gunung Salak sebagai  tempatnya yang baru. Keni disukai makhluk jahanam ini, karena akan  dijadikan pendamping di alam kegelapan. Karena itulah, ke mana pun dia  pergi, makhluk itu akan mengikutinya. 
Saat  berusaha mengobati Keni, orang pintar tersebut menyuruh makhluk itu  untuk kembali ke asalnya, tapi dia tidak mau kalau tidak di antar. Sudah  barang tentu, tak satupun teman-teman yang mau mengantar, karena kami  takut itu hanya jebakan saja. Dengan kejadian tersebut, salama satu  tahun lebih, aku merasa diikuti oleh makhluk itu. Sampai-sampai ke kamar  mandi pun harus ditemani oleh kakak atau ibuku. 
Sampai  kini aku tidak tahu bagaimana nasib Keni selanjutnya. Namun, sempat  kudengar kabar bahwa dia menjadi seorang muslimah yang taat. Mungkin,  hanya dengan pilihan ini dia bisa melakukan penyembuhan untuk dirinya.