“Walisongo” berarti sembilan orang wali”Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan  Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta  Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan.  Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan  darah juga dalam hubungan guru-murid
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik  Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti  juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan  Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang.  Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan  Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik  Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga  pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni  Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa  Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang  menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai  bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga,  kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling  penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh  wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya  ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga,  dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga  sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam  budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah  simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak  tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar  dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap  kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat  “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam  penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri  sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut  para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang  mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami  masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.
Maulana Malik Ibrahim (1)Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan  lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah  Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah  Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi.  Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan  Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari  Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang  ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand.  Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina  Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja,  selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja,  yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan  Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup  menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik  Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa  orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah  yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo  sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota  Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang  dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok  dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga  menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai  tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang  berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat  istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia  merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka  sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat  sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang  saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di  Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat  di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.n
Sunan Ampel (2)Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan  Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden  Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri,  diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel  atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota  Wonokromo sekarang)
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada  tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum  ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di  Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke  Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati,  yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar  Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari  perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya  yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika  Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak  didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama  di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari  Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475  M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja  Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia  merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren  tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah  Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri  dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk  berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya,  ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman  akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh  main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk  “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak  menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.n
Sunan Giri (3)Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan  Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang  menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa  kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja  Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut  anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik  Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal  mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga  isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel,  tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka  dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah  perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit  adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam  arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja  Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan-  memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren  itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri  Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai  Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu  itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri  malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak.  Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas  dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin  tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya,  Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi  VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang  gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku,  Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk  Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari  Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam  ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia  juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti  Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi  Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa  Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.n
Sunan Bonang (4)Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama  kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari  seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di  Tuban
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana  ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga  Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga:  sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih  halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus  yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan  memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari  arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan  wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang  dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid  mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang  diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang  mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar  penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah
yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut  disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti  kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001  malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus  mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus.  Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan  Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan  Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n
Sunan Kalijaga (5)Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia  lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati  Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu,  Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki  sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban  atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama  Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun  Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan  bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya  dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali)  atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari  bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu  suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun.  Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir  1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga  Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan  Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang  pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal”  (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah  kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat  dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis  salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih  kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat  akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati  secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga  berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama  hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan  Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk  sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan,  grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap  pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid  diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa  memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati  Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede  – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.n
Sunan Gunung Jati (6)Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati.  Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual  seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir,  dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan  hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada  Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah  diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara  Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya  adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan  Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari  para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul  berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain,  ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan  Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo”  yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya  sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir  Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas.  Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa  jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga  melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum,  menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian  menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk  hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran  Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120  tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung,  Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah  barat.n
Sunan Drajat (7)Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia  bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar  Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah  ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun
Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun  berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan  padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat,  Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara  ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun  demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang  dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.
Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah  “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian  pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka  menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak  yatim-piatu dan fakir miskin.n
Sunan Kudus (8)Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan  Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa  Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana  hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima  Perang
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana  ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga  Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga:  sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih  halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus  yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan  memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari  arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan  wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang  dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid  mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang  diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang  mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar  penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi  betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih  menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut  disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti  kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001  malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus  mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus.  Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan  Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan  Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n
Sunan Muria (9)Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh  Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden  Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng  Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga.  Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah  sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama  Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan  keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah  kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik  internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi  yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu.  Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang  berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar  Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom  dan Kinanti.