ELBARAKA KALIGRAFI ( pengrajin kaligrafi jarum dan benang )
Banyak orang menafsirkan makna jihad fi sabilillah dengan berbagai macam penafsiran. Mana makna jihad yang benar menurut kaca mata syariat Islam? Dan peperangan seperti apa saja yang dapat dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah?
Ada upaya baru yang diciptakan oleh musuh-musuh Islam, yakni meminggirkan dan menghilangkan makna serta pengaruh istilah-istilah Islam di tengah-tengah kaum Muslim. Salah satu istilah yang berusaha mereka eliminir dan kaburkan adalah istilah jihad. Hal itu dilakukan bukan saja dengan menciptakan stereotipe negatif tentang jihad, mujahid dan syahid, tetapi juga dengan mengalihkan makna jihad secara syar’i ke pengertian jihad secara bahasa (lughawi) yang bersifat lebih umum.
Tidak dipungkiri, kata jihad memiliki pengarih yang amat luas, dan masih memiliki greget yang mendalam di kalangan kaum Muslim. Gaung jihad akan segera menghentakkan kaum Muslim, yang sehari-harinya biasa-biasa saja. Seketika kita berubah wujud menjadi luar biasa. Fenomena semacam ini amat dipahami, baik oleh musuh-musuh Islam maupun kalangan Muslim sendiri. Tidak aneh jika kata jihad sering dipelintir maknanya untuk kepentingan politik negara-negara besar maupun kalangan-kalangan tertentu.
Negara Barat kafir seperti AS, hingga kini tetap giat mempropagandakan pandangan bahwa jihad sama dengan teror, mujahidin sama dengan teroris atau ekstremis yang harus dimusuhi, dilawan, dan dibinasakan. Mereka khawatir dengan bangkitnya semangat kaum Muslim melawan hegemoni sistem kufur yang dipelopori AS. Kaum orientalis dan para pengikutnya mengarahkan makna jihad dalam pengertian yang lebih luas, mencakup jihad pembangunan, jihad menuntut ilmu, jihad mencari nafkah, jihad ekonomi, jihad politik dan sejenisnya. Semua itu mengaburkan makna jihad yang sebenarnya. Dalam skala yang lebih sempit lagi, kata jihad ternyata juga sengaja dipelintir dan dipolitisasi untuk menghadang atau melawan kelompok tertentu yang bertentangan dengan kelompok mereka. Inilah yang sekarang terjadi di negeri ini.
Untuk meluruskan persepsi keliru tentang makna jihad agar tidak digunakan untuk kepentingan politik tertentu, yang dengan gampang mengangkat perkara ini guna menghadang pihak lain yang menghalang-halangi atau mengganggu eksistensi dan kepentingan kelompok mereka, sangatlah penting menjelaskan hakikat jihad yang sebenarnya kepeda seluruh kaum Muslim.
Jihad berasal dari kata jâhada, yujâhidu, jihâd. Artinya adalah saling mencurahkan usaha1. Lebih jauh lagi Imam an-Naisaburi dalam kitab tafsirnya menjelaskan arti kata jihad –menurut bahasa-, yaitu mencurahkan segenap tenaga untuk memperoleh maksud tertentu2.
Al-Quran menggunakan arti kata jihad seperti diatas dalam beberapa ayatnya, seperti ayat berikut:
]وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا[
Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dalam hal yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (TQS. Luqman [31]: 15)
Makna jihad menurut bahasa (lughawi) adalah kemampuan yang dicurahkan semaksimal mungkin; kadang-kadang berupa aktivitas fisik, baik menggunakan senjata atau tidak; kadang-kadang dengan menggunakan harta benda dan kata-kata; kadang-kadang berupa dorongan sekuat tenaga untuk meraih target tertentu; dan sejenisnya. Makna jihad secara bahasa ini bersifat umum, yaitu kerja keras.
Al-Quran telah mengarahkan makna jihad pada arti yang lebih spesifik, yaitu: Mencurahkan segenap tenaga untuk berperang di jalan Allah, baik langsung maupun dengan cara mengeluarkan harta benda, pendapat, memperbanyak logistik, dan lain-lain3.
Pengertian semacam ini tampak dalam kata jihad yang ada dalam ayat-ayat Madaniyah. Maknanya berbeda dengan kata jihad yang terdapat dalam ayat-ayat Makkiyah. Kata jihad mengandung makna bahasa yang bersifat umum, sebagaimana pengertian yang tampak dalam al-Quran surat al-Ankabut [29]: ayat 6 dan 8 serta surat Luqman [31]: ayat 15.
Tidak kurang dari 26 kata jihad digunakan dalam ayat-ayat Madaniyah. Semuanya mengindikasikan bahwa jihad disini mengandung muatan makna perang menentang orang-orang kafir dan keutamaan orang yang pergi berperang dibandingkan dengan orang yang berdiam diri saja. Pengertian semacam ini diwakili oleh firman Allah Swt:
]انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ[
Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah. Yang demikian adalah lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (TQS. at-Taubah [9]: 41)
Jihad dengan makna mengerahkan segenap kekuatan untuk berperang di jalan Allah juga digunakan oleh para fuqaha. menurut mazhab Hanafi, jihad adalah mencurahkan pengorbanan dan kekuatan untuk berjuang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta benda, lisan dan sebagainya4. Menurut mazhab Maliki, jihad berarti peperangan kaum Muslim melawan orang-orang kafir dalam rangka menegakkan kalimat Allah hingga menjadi kalimat yang paling tinggi5. Para ulama mazhab Syafi’i juga berpendapat bahwa jihad berarti perang di jalan Allah6.
Sekalipun kata jihad menurut bahasa memliki arti mencurahkan segenap tenaga, kerja keras, dan sejenisnya, tetapi syariat Islam lebih sering menggunakan kata tersebut dengan maksud tertentu, yaitu berperang di jalan Allah. Artinya, penggunaan kata jihad dalam pengertian berperang di jalan Allah lebih tepat digunakan ketimbang dalam pengertian bahasa. Hal ini sesuai dengan kaidah yang sering digunakan para ahli ushul fiqih:
Makna syariat lebih utama dibandingkan dengan makna bahasa maupun makna istilah (urf)7.
Dengan demikian, makna jihad yang lebih tepat diambil oleh kaum Muslim adalah berperang di jalan Allah melawan orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Allah.
Pengaburan makna jihad dalam pengertian syariat ini, dengan cara mengalihkannya ke pengertian yang lebih umum, seperti jihad pembangunan, me untut ilmu, mencari nafkah, berpikir keras mencari penyelesaian, dan sejenisnya yang dianggap sebagai aktivitas jihad- merupakan upaya untuk menghilangkan makna jihad dalam pengertian al-qitâl, al-harb, atau al-ghazwu, yaitu berperang (di jalan Allah).
Untuk menentukan bahwa suatu pertempuran itu tergolong jihad fi sabilillah (sesuai dengan definisi diatas) atau termasuk perang saja, maka kita perlu mencermati fakta tentang jenis-jenis peperangan yang dikenal dalam khasanah Islam. Di dalam Islam terdapat kurang lebih 12 jenis peperangan, yaitu:
1. Perang melawan orang-orang murtad.
2. Perang melawan para pengikut bughât.
3. Perang melawan kelompok pengacau (al-hirabah atau quthâ at-thuruq) dari kalangan perompak dan sejenisnya.
4. Perang mempertahankan kehormatan secara khusus (jiwa, harta benda dan kehormatan).
5. Perang mempertahankan kehormatan secara umum (yang menjadi hak Allah atau hak masyarakat).
6. Perang menentang penyelewengan penguasa.
7. Perang fitnah (perang saudara).
8. Perang melawan perampas kekuasaan.
9. Perang melawan ahlu dzimmah.
10.Perang ofensif untuk merampas harta benda musuh.
11.Perang untuk menegakkan Daulah Islam.
12.Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam.8
Perang melawan orang-orang murtad
Murtad, menurut Imam Nawawi, adalah orang yang keluar dari agama Islam, mengeluarkan kata-kata atau tindakan kekufuran, dengan disertai niat, baik niatnya mencela, karena kebencian, atau pun berdasarkan keyakinan9. Orang yang murtad di beri batas waktu, bisa tiga hari atau pun lebih untuk bertobat10. Jika jangka waktu yang diberikan berakhir, sementara yang bersangkutan tetap tidak berubah, maka ia wajib dibunuh.
Jika yang murtad itu merupakan satu komunitas, baik didukung oleh negara kafir atau pun berdiri sendiri, hukumnya juga sama, yaitu wajib diperangi sebagaimana halnya memerangi musuh, bukan seperti memerangi bughât11.
Perang melawan para pengikut bughat
Bughat adalah mereka yang memiliki kekuatan, kemudian menyatakan keluar atau memisahkan diri dari Daulah Islamiyah, melepaskan ketaatannya kepada negara (Khalifah), mengangkat senjata, dan mengumumkan perang terhadap negara. Tidak dibedakan lagi apakah mereka memisahkan diri dari Khalifah yang adil atau zhalim; baik mereka memisahkan diri karena adanya perbedaan (penafsiran) dalam agama atau mungkin ada motivasi dunia. Semuanya tergolong bughat selama mereka mengangkat senajata atau pedang terhadap kekuasaan Islam12.
Jika ada kelompok orang semacam ini, menurut Imam Nawawi, yang harus dilakukan oleh kepala negara adalah memberinya nasehat agar mereka kembali dan bertobat13. Jika tidak kembali mereka harus diperangi agar jera. Dalam perkara ini, peperangan yang dimaksud adalah peperangan untuk mendidik mereka, bukan perang untuk membinasakan mereka. Alasannya, mereka adalah kaum Muslim yang tidak sadar, dan kesadarannya harus dikembalikan14.
Oleh karena itu, perang melawan bughat tidak tergolong ke dalam aktivitas jihad fi sabilillah. Ada dua alasan penting: (1) yang diperangi adalah kaum Muslim; (2) korban yang terbunuh dalam peperangan ini tidak termasuk syahid.
Perang melawan kelompok pengacau
Kelompok pengacau adalah mereka yang melakukan tindak kriminal dalam wujud sekumpulan orang bersenjata dan memiliki kekuatan. Tujuannya adalah merampok, menyamun, membunuh, menebar teror atau ketakutan terhadap masyarakat umum15. Para pelakunya bisa terdiri dari empat jenis: (1) orang-orang murtad; (20 orang kafir ahlu dzimmah; (3) orang-orang kafir musta’man; (4) orang Islam.
Jika di dalam Daulah Islamiyah muncul kelompok semacam ini, mereka wajib diperintahkan untuk meletakkan senjata dan menyerahkan diri, setelah sebelumnya diberikan nasehat. Apabila mereka tidak mengindahkan seruan negara, maka mereka wajib diperangi. Daulah Islamiyah wajib melenyapkan ancaman mereka atas kaum Muslim.
Perang melawan mereka dapat dimasukkan ke dalam golongan jihad fi sabilillah, jika sasarannya adalah orang-orang murtad, ahlu dzimmah dan orang-orang kafir musta’man. Sebaliknya, jika sasarannya adalah kaum Muslim yang melakukan kekacauan, peperangan melawan mereka tidak tergolong sebagai jihad fi sabilillah16.
Perang mempertahankan kehormatan pribadi
Para fuqaha memberinya istilah lain dalam peperangan jenis ini, yaitu as-siyâl. As-Siyâl adalah tindakan ancaman atas harta benda, jiwa dan kehormatan. Ketiga perkara tersebut merupakan perkara-perkara yang harus dijaga. Hukum mempertahankan ketiga jenis perkara tersebut disyariatkan oleh Islam. Jika pihak yang merampas kehormatan, harta benda, atau pun jiwa itu adalah orang-orang kafir, maka peperangan melawan mereka dimasukkan sebagai jihad fi sabilillah. Akan tetapi jika pihak yang mertampas kehormatan, jiwa dan harta benda kaum Muslim adalah juga dari kaum Muslim, maka jenis peperangan melawan mereka tidak digolongkan sebagai jihad17.
Perang mempertahankan kehormatan secara umum
Sekalipun obyeknya sama dengan jenis peperangan sebelumnya, yaitu mencakup kehormatan, harta benda dan jiwa, akan tetapi terdapat perbedaan yang mendasar dalam perkara ini. Perang dalam rangka mempertahankan kehormatan secara umum, ditujukan kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran atas kehormatan, harta benda dan jiwa, yang dimilikinya sendiri. Misalnya, sekelompok orang yang melacurkan diri, mengambil harta orang lain secara sukarela untuk berjudi, atau sekelompok orang yang bermaksud membunuh diri mereka sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pelanggaran terhadap hak-hak Allah dan hak-hak masyarakat, karena dapat merusak kesucian jiwa dan kebersihan hidup masyarakat.
Berperang untuk mengikis habis pelanggaran hak Allah dan hak masyarakat ini, di dalam fiqih Islam lebih dikenal dengan taghyir al-munkar. Negara wajib memelihara kesucian jiwa dan kebersihan hidup masyarakat dengan memerangi mereka yang akan membinasakan kehormatan, harta benda dan jiwa mereka sendiri. Perang dalam rangka ini tidak termasuk ke dalam aktivitas jihad.
Perang menentang penguasa yang menyimpang
Peperangan jenis ini, dalam fiqih Islam dikenal dengan beberapa istilah, seperti al-khurûj (pemisahan diri), ats-tsaurah (pemberontakan atau kudeta), an-nuhûdl (kebangkitan), al-fitnah (fitnah), qitâl azh-zhulmah (memerangi kezhaliman), qitâl al-umarâ (memerangi penguasa), inqilâb (revolusi), harakat tahririyah li tashîh al-auda (gerakan pembebasan untuk perbaikan), harb ahliyah (perang saudara), dan lain-lain18.
Yang perlu diingat, peperangan jenis ini berada dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah, yakni tatkala di dalamnya tampak penyelewengan penguasa dalam:
1. Meninggalkan shalat, puasa, atau rukun Islam lainnya.
2. Tidak menegakkan rukun Islam di tengah-tengah masyarakat.
3. Melakukan kemaksiatan secara terang-terangan.
4. Melakukan kekufuran secara terang-terangan.
Peperangan jenis ini memerlukan burhân (bukti) yang pasti bahwa Khalifah benar-benar telah menyimpang dari hukum Islam yang qath’i dengan menjalankan kekufuran. Dalam kondisi semacam ini, seorang Khalifah harus dilengserkan dan dianggap murtad. Jika ia melawan, maka perang melawannya dapat dikategorikan sebagai jihad. Jika Khalifah hanya melakukan penyelewengan saja, tidak sampai melakukan kekufuran secara terang-terangan tetapi mengharuskan dirinya dilengserkan dari kedudukannya sebagai Khalifah, sementara ia tidak bersedia diturunkan, maka perang melawannya sama dengan melawan bughât, tidak dikategorikan sebagai jihad19.
Perang fitnah (perang saudara)
Perang saudara disini maksudnya adalah perang antara dua pihak atau lebih yang melibatkan kaum Muslim yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Contoh yang paling mudah untuk perang saudara ini adalah apa yang terjadi dan dialami oleh kaum Muslim di Afghanistan (pada masa pemerintahan Thaliban).
Perang saudara semacam ini tidak digolongkan sebagai jihad fi sabilillah. Bahkan, banyak hadits yang melarangnya, sementara para pelakunya diancam akan dimasukkan ke dalam neraka.
Perang melawan perampas kekuasaan
Kekuasaan itu ada di tangan rakyat (umat). Demikian kesimpulan dari berbagai hadits yang menyangkut bai’at. Bai’at berasal dari umat yang diberikan kepada Rasulullah saw, atau para Khalifah setelah beliau. Artinya, orang yang memperoleh kekuasaan bukan melalui tangan umat atau melalui paksaan dianggap sebagai pihak yang merampas kekuasaan.
Perang melawan pihak yang merampas kekuasaan tidak digolongkan sebagai jihad. Meskipun demikian, dalam kasus ini, terdapat dua pendapat yang berbeda di kalangan sahabat. Ali bin Abi Thalib ra menganggapnya sebagai jihad. Sikap beliau diwujudkan dalam tindakannya, yakni tidak memandikan jenazah para sahabatnya yang gugur dalam perang Shiffin. Sebaliknya adalah pendapat Asma binti Abubakar. Ia memandikan anaknya, yakni Abdullah bin Zubair tatkala berperang melawan pihak yang merampas kekuasan, yaitu Marwan bin Hakam20.
Perang melawan ahlu dzimmah
Ahlu dzimmah adalah setiap orang non muslim yang menjadi rakyat (warga negara) Daulah Islamiyah dan dibiarkan memeluk agamanya21. Ahlu dzimmah adalah orang yang terikat perjanjian dengan Daulah Islamiyah serta memperoleh dzimmah (jaminan) dari negara atas jiwa, kehormatan dan harta bendanya. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap perjanjian tersebut dapat menggugurkan status dzimmah mereka.
Pelanggaran tersebut mencakup setiap perkara yang mengganggu atau menghilangkan harta benda, jiwa dan kehormatan kaum Muslim, seperti (1) membantu menyerang kaum Muslim, (2) membunuh kaum Muslim, (3) merampok harta benda kaum Muslim, (4) menjadi perusuh, (5) membocorkan rahasia kaum Muslim kepada musuh, (6) menodai kehormatan wanita muslimah, (7) mempengaruhi kaum Muslim agar memeluk agama mereka yang kafir.
Berbagai pelanggaran ini jika dilakukan oleh ahlu dzimmah dapat menggugurkan dzimmah (jaminan) negara atas keselamatan harta benda, kehormatan dan jiwa mereka.
Perang melawan ahlu dzimmah semacam ini termasuk jihad fi sabilillah. Alasannya, status mereka pada kondisi demikian telah berubah menjadi kafir harbi, karena mereka telah kehilangan dzimmahnya. Kasus semacam ini akan dihadapi jika mereka benar-benar melakukan konspirasi bersama dengan orang-orang kafir harbi untuk menyerang kaum Muslim22.
Perang untuk menegakkan Daulah Islamiyah
Untuk mengetahui pakah perang jenis ini temasuk jihad fi sabilillah atau bukan, harus dicermati dulu faktanya. Pertama, jika sasaran perang dalam rangka menegakkan Daulah Islamiyah itu berasal dari kalangan kaum Muslim yang tidak setuju dengan tegaknya Daulah Islamiyah, maka perang jenis ini dimasukkan ke dalam perang melawan bughat. Kedua, perang melawan ahlu dzimmah yang tidak mau tunduk kepada Daulah Islamiyah yang baru berdiri, maka peperangannya dianggap sebagai jihad melawan orang-orang kafir harbi. Ketiga, perang melawan negeri-negeri Islam yang tidak mau bergabung dalam naungan Daulah Islamiyah. Perang jenis ini dimasukkan sebagai perang melawan bughât. Keempat, perang melawan penjajah atau negara-negara kafir yang tidak ingin melihat berdirinya Daulah islamiyah. Perang jenis ini digolongkan sebagai jihad fi sabilillah.
Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam
Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam pada dasarnya tergolong perang untuk menegakkan kalimat Allah. Meskipun demikian, perlu dicermati sasarannya. Jika yang diperangi adalah orang-orang kafir atau ahlu dzimmah yang telah mencampakkan perjanjiannya, maka melawan mereka dikategorikan sebagai jihad. Akan tetapi, jika yang diperangi adalah sesama kaum Muslim yang teguh pada nasionalisme atau kebangsaannya, sementara mereka dijadikan alat oleh negara-negara kafir untuk melawan sesama kaum Muslim, maka perang melawan mereka tidak dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah23.
Berdasarkan uraian singkat ini, kaum Muslim bisa lebih berhati-hati dalam menyikapi provokasi, ajakan, maupun seruan-seruan jihad yang disalahgunakan oleh banyak pihak yang didasarkan pada kepentingan politik tertentu. Alih-alih mengharapkan mati syahid, yang diperoleh ternyata mati konyol. Na’udzi billahi min dzalika.