Perawan 35 Juta, Janda 15 Juta? wow..Nikah siri telah memunculkan fenomena komersialisasi. Sebut saja dengan keberadaan para makelar pernikahan. Menurut seorang perempuan pelaku nikah siri di Desa Kalisat, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan, makelar biasanya mempertemukan antara lelaki pencari pasangan dan tipe perempuan yang diinginkannya.
Secara garis besar, para makelar membagi perempuan dalam dua kategori, yaitu perawan dan janda.
Dari observasi Islamic Centre for Development and Human Rights Empowerment (ICDHRE), jika yang ingin dinikahi adalah perawan maka uang jasa yang diminta makelar ke lelaki kliennya sekitar Rp 35 juta. Sementara jika janda, uang jasanya Rp 15 juta.
Namun, kategorisasi ini tidak baku. Penampilan dan wajah si perempuan juga bisa menentukan nilainya selain keperawanan.
Di Rembang, perempuan disebut dewasa (akil balig) apabila sudah menginjak usia 15 tahun.
Untuk ukuran masyarakat kota, usia tersebut sebetulnya tergolong masih kanak-kanak. Namun, di Rembang, para orangtua biasanya mulai gelisah jika anak putrinya berusia 15 tahun dan belum ada yang menanyakan untuk dijadikan bakal istri. Bahkan, jika berusia di atas 20 tahun dan masih belum menikah, sudah disebut perawan kasep atau perawan tua.
Menurut seorang pelaku nikah siri di Desa Kalisat, sebut saja Yuni, uang jasa yang diterima makelar biasanya diberikan juga sebagian kepada pihak perempuan yang dinikahi. Namun, berapa persisnya pembagian itu, tidak ada rumusan yang baku.
Adanya praktik komersialisasi nikah siri ini mendorong ICDHRE melakukan advokasi kepada para orangtua dan kalangan perempuan di Rembang.
Biaya makelar itu jauh lebih mahal daripada mahar untuk nikah, yang hanya sekitar Rp 1,5 juta. Ada juga tambahan sedikit untuk biaya perayaan nikah secara sederhana.
"Kami bergerak untuk memberikan advokasi dan penyadaran melalui pemberdayaan ekonomi, antara lain berupa pelatihan keterampilan yang diharapkan berguna bagi bekal perempuan Rembang untuk mandiri. Kami ketahui bahwa salah satu penyebab gampangnya nikah siri di sini adalah problem ekonomi," kata Ali Sodikin, Direktur ICDHRE, yang lembaganya sudah bergerak di Rembang sejak 2003.
Tidak ada data pasti mengenai berapa jumlah wanita yang dinikahi secara siri di Rembang. Namun, munculnya kesadaran akan pentingnya pencatatan nikah dan demi menghindarkan tudingan negatif, sebagian pasangan kawin siri di sana ingin mencatatkan nikahnya secara resmi ke Kantor Urusan Agama (KUA) atau isbat.
Pada tahun 2008, jumlah pasangan suami istri siri yang menghendaki isbat sebanyak 540 di Rembang. Sedangkan secara total, jumlah pasangan siri di Kabupaten Pasuruan yang menginginkan isbat sebanyak 2.244 pada tahun yang sama.
Menurut KH Machrus Ali, Pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin, Desa Ketapan, Kecamatan Rembang, harus dibedakan dengan jelas antara kawin siri dan kawin kontrak (mut’ah).
Kawin siri tak ada batas waktunya kecuali berakhir dengan perceraian, sedangkan kawin kontrak ada batasan waktu. Namun, kawin kontrak tidak populer di Indonesia.
Praktik di Rembang, menurut KH Machrus, untuk pernikahan lewat makelar tak bisa disebut sebagai nikah siri. Lebih tepat dinamakan kawin kontrak karena dalam kenyataan ada batas waktunya. Bahkan ada yang telah berganti suami siri hingga 29 Kali
Hanya saja, untuk menutupi motif komersial dan kesan negatif dalam perkawinan lewat makelar itu, sebagian warga Rembang yang kawin kontrak mengaburkannya dengan istilah nikah siri.
"Nikah lewat makelar itu jelas bukan nikah siri yang sah. Itu kawin kontrak," kata KH Machrus.
KH Machrus mengibaratkan, warga yang sungguh-sungguh nikah siri (karena melalui kiai) seperti halnya orang yang membeli tanah dan masih menunggu proses sertifikasi. Hal ini karena keterbatasan dana mereka untuk mengurus administrasi pernikahan ke KUA.
Terbukti, kata dia, dengan banyaknya nikah siri melalui para kiai, kehidupan ekonomi pasangan nikah siri di Rembang justru meningkat. Sedangkan akibat kawin kontrak, para wanita dan anak-anaknya umumnya telantar.
"Makanya dengan tegas kami menolak pelaku nikah siri dipidanakan. Tapi, kalau nikah kontrak dilarang atau dipidanakan, kami jelas setuju. Sebab, kawin kontrak itu sejak awal sudah mempunyai niatan kurang baik, yakni pada periode tertentu nikah bisa putus," tegas KH Machrus.
[kompas.com]
Secara garis besar, para makelar membagi perempuan dalam dua kategori, yaitu perawan dan janda.
Dari observasi Islamic Centre for Development and Human Rights Empowerment (ICDHRE), jika yang ingin dinikahi adalah perawan maka uang jasa yang diminta makelar ke lelaki kliennya sekitar Rp 35 juta. Sementara jika janda, uang jasanya Rp 15 juta.
Namun, kategorisasi ini tidak baku. Penampilan dan wajah si perempuan juga bisa menentukan nilainya selain keperawanan.
Di Rembang, perempuan disebut dewasa (akil balig) apabila sudah menginjak usia 15 tahun.
Untuk ukuran masyarakat kota, usia tersebut sebetulnya tergolong masih kanak-kanak. Namun, di Rembang, para orangtua biasanya mulai gelisah jika anak putrinya berusia 15 tahun dan belum ada yang menanyakan untuk dijadikan bakal istri. Bahkan, jika berusia di atas 20 tahun dan masih belum menikah, sudah disebut perawan kasep atau perawan tua.
Menurut seorang pelaku nikah siri di Desa Kalisat, sebut saja Yuni, uang jasa yang diterima makelar biasanya diberikan juga sebagian kepada pihak perempuan yang dinikahi. Namun, berapa persisnya pembagian itu, tidak ada rumusan yang baku.
Adanya praktik komersialisasi nikah siri ini mendorong ICDHRE melakukan advokasi kepada para orangtua dan kalangan perempuan di Rembang.
Biaya makelar itu jauh lebih mahal daripada mahar untuk nikah, yang hanya sekitar Rp 1,5 juta. Ada juga tambahan sedikit untuk biaya perayaan nikah secara sederhana.
"Kami bergerak untuk memberikan advokasi dan penyadaran melalui pemberdayaan ekonomi, antara lain berupa pelatihan keterampilan yang diharapkan berguna bagi bekal perempuan Rembang untuk mandiri. Kami ketahui bahwa salah satu penyebab gampangnya nikah siri di sini adalah problem ekonomi," kata Ali Sodikin, Direktur ICDHRE, yang lembaganya sudah bergerak di Rembang sejak 2003.
Tidak ada data pasti mengenai berapa jumlah wanita yang dinikahi secara siri di Rembang. Namun, munculnya kesadaran akan pentingnya pencatatan nikah dan demi menghindarkan tudingan negatif, sebagian pasangan kawin siri di sana ingin mencatatkan nikahnya secara resmi ke Kantor Urusan Agama (KUA) atau isbat.
Pada tahun 2008, jumlah pasangan suami istri siri yang menghendaki isbat sebanyak 540 di Rembang. Sedangkan secara total, jumlah pasangan siri di Kabupaten Pasuruan yang menginginkan isbat sebanyak 2.244 pada tahun yang sama.
Menurut KH Machrus Ali, Pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin, Desa Ketapan, Kecamatan Rembang, harus dibedakan dengan jelas antara kawin siri dan kawin kontrak (mut’ah).
Kawin siri tak ada batas waktunya kecuali berakhir dengan perceraian, sedangkan kawin kontrak ada batasan waktu. Namun, kawin kontrak tidak populer di Indonesia.
Praktik di Rembang, menurut KH Machrus, untuk pernikahan lewat makelar tak bisa disebut sebagai nikah siri. Lebih tepat dinamakan kawin kontrak karena dalam kenyataan ada batas waktunya. Bahkan ada yang telah berganti suami siri hingga 29 Kali
Hanya saja, untuk menutupi motif komersial dan kesan negatif dalam perkawinan lewat makelar itu, sebagian warga Rembang yang kawin kontrak mengaburkannya dengan istilah nikah siri.
"Nikah lewat makelar itu jelas bukan nikah siri yang sah. Itu kawin kontrak," kata KH Machrus.
KH Machrus mengibaratkan, warga yang sungguh-sungguh nikah siri (karena melalui kiai) seperti halnya orang yang membeli tanah dan masih menunggu proses sertifikasi. Hal ini karena keterbatasan dana mereka untuk mengurus administrasi pernikahan ke KUA.
Terbukti, kata dia, dengan banyaknya nikah siri melalui para kiai, kehidupan ekonomi pasangan nikah siri di Rembang justru meningkat. Sedangkan akibat kawin kontrak, para wanita dan anak-anaknya umumnya telantar.
"Makanya dengan tegas kami menolak pelaku nikah siri dipidanakan. Tapi, kalau nikah kontrak dilarang atau dipidanakan, kami jelas setuju. Sebab, kawin kontrak itu sejak awal sudah mempunyai niatan kurang baik, yakni pada periode tertentu nikah bisa putus," tegas KH Machrus.
[kompas.com]