*)  Apa yang akan ditulis Kartini kepada sahabatnya Stella Zeehandelaar  jika beliau lahir pada abad ini, mungkin bukan surat yang diantar dengan  kapal laut dan memakan waktu berbulan bulan, tapi mungkin sudah berupa  email.
Emansipasi perempuan bukan lagi menjadi subyek keluhannya, karena  sekarang perempuan sudah bebas bersekolah dan berkarir setinggi  tingginya. Tapi mungkin kini ia mengeluhkan tingginya biaya bersekolah,  karena pemerintah menarik subsidi pendidikan. Mengeluhkan penyelewengan  yang berseliweran di negerinya.
Seperti inilah kurang lebih dalam imajinasi saya :
Bagiku Stella,.. masalah yang dihadapi oleh bangsaku kini adalah  tingginya biaya pendidikan. Bayangkan Kalau dulu bangsamu perlahan  membuka sekolah sekolah untuk para pribumi, ….kini para pembesar  negeriku menutup kesempatan itu. Mereka merampas kesempatan satu satunya  yang dimiliki saudaranya yang miskin dan melarat untuk merubah nasib  melalui pendidikan. Pemerintahku mencabut subsidi yang sangat diperlukan  oleh anak anak miskin untuk melanjutkan pendidikannya.
Kini perguruan tinggi kembali menjadi milik para pembesar dan kaum  berpunya.   Dengarlah Stella,…. keluhan orang tua tak berpunya yang  membanting tulang siang malam demi biaya kuliah anak mereka. Berapa  banyak tangan tengadah untuk memanjatkan doa di malam sepi, meminta agar  diberikan sedikit rejeki demi sang anak.
Kini STOVIA hanya membuka pintunya sedikit saja untuk yang tidak  ber-uang. Oh ya, STOVIA kini sudah berganti menjadi Fakultas Kedokteran  Universitas Indonesia jika kau belum tahu, tidak cukup otak pintar untuk  menuju ke sana, tapi juga uang yang banyak.
Karena biaya pendidikan yang mahal itu, aku tidak heran jika para  dokter menerapkan tariff mahal yang tidak mampu dijangkau oleh sebagian  besar rakyat kami. Sementara penyakit penyakit aneh mulai bermunculan.  Aku ingin bercerita tentang bayi berkepala besar yang terkatung katung  di kampungnya.  Orang tuanya tidak mampu membawanya berobat karena  ketiadaan biaya. Surat miskin yang dikeluarkan oleh kepala desa tidaklah  bermanfaat. Rumah sakit penuh dengan pasien melarat, pemerintah kami  hanya mengeluarkan pernyataan tanpa tindakan.
Ingatkah kau akan Tjipto Mangoenkoesoemo? Betapa ia dulu dengan  sukarela memberantas wabah pes yang merebak di seantero negeri, tanpa  imbalan. Aku berharap akan ada Tjipto Tjipto lain, walaupun dengan rasa  pesimis.
Duhai sahabatku,.. kini hatiku pedih oleh rintihan para pedagang,  pengrajin dan petani kecil negeriku.   Mereka orang orang yang tabah,  membangun usahanya tanpa bantuan pemerintahku.
Berusaha mandiri dan tidak bersandar menjadi orang gajian semata.  Tahukah kau Stella,…. setelah mereka memeras peluh memproduksi kebutuhan  kami, sekonyong pasar diserbu oleh barang barang dari negeri seberang  lautan. Pemerintah kami yang membuka pintu lebar lebar.   Mereka tidak  ingin bersusah payah mengurusi para petani dan pedagang kecil itu.
Bukankah rakyat negeriku sangat rajin Stella? Mereka berjuang beratus  tahun, dari perang ke perang, dari tanam paksa, menjadi romusha sampai  mengantar nyawa  putra putra terbaik kami untuk meraih kemerdekaan.
Apakah kami sudah merdeka? Memang tidak ada lagi cambuk yang  menggelegar menghantam tubuh kami. ….Tapi cambuk itu sudah berganti  menjadi perjanjian perjanjian dagang bebas tarif antar Negara yang  dengan cepat mencekik kami hingga sekarat.
Tapi kami masih tetap tegar tidak berputus asa, jika keadaan disini  tidak tertahankan mengembaralah para lelaki dan perempuan kami ke negeri  seberang. Apa pun kami lakukan demi mempertahankan daya hidup.  Ketahuilah Stella kami bukan bangsa pemalas, saat rakyatmu masih  bergelung dalam selimut di pagi buta, kami telah terjaga dan berjuang di  jalanan, melawan situasi yang tak bersahabat.
Dulu, dibawah kekuasaan bangsamu ..kami masih mempunyai tanah untuk  ditanami, sekarang semua musnah. Kau akan kaget… Sahabat, negeriku yang  dulu hijau permai, kini penuh gedung tinggi. Di tanah kamilah gedung  gedung itu berdiri, tidak semua untuk gedung, ada tanah kami yang  terendam lumpur tanpa tahu apa dan siapa penyebabnya sehingga sebagian  dari kami terlunta lunta kehilangan mata pencaharian.
Duh, sahabat, kini tanah kami mulai meranggas, namun masih tetap kaya  raya. Kini orang orang asing itu kembali bukan untuk tanaman tapi untuk  tambang…… Para pembesar negeri yang mengundang mereka.  Mereka mengaduk  ngaduk tanah kami untuk emas, tembaga, batu bara, minyak bahkan gas.  Kami hanya bisa menonton tanpa menikmati. Kekayaan negeri tidak lagi  digunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.  Pasal pasal  kesejahteraan rakyat yang susah payah dirancang oleh para Bapak bangsa  kini tinggal arsip usang yang terabaikan.
Stella, aku tidak menyesal tidak jadi bersekolah di Belanda, di sini  aku bisa tetap dekat dan melihat kondisi rakyatku. Aku akan berkeliling  dari Sabang sampai Merauke mencoba bersama sama membangun industri rumah  tangga yang nyaris binasa. Kau masih ingat kerajinan rakyat dari  Jepara, tanah kelahiranku? Betapa indah bukan motif motif ukiran itu?
Ukiran itu adalah kekayaan rakyatku sejak ratusan tahun yang lalu,  namun seakan belum puas masih ada bangsa asing yang tergiur dengan motif  motif itu dan berusaha mengakui itu sebagai miliknya.
Stella, kenapa negeriku yang indah tak permanai ini terus menerus  dirundung malang? Apa dosa kami.,,,, Mengapa anugerah yang kami terima  selalu ingin dirampas oleh bangsa lain.
Tapi aku yakin, Tuhan tidak tidur.   Ia tahu dan Ia menunggu.
Jika kau sempat ke Indonesia, kau akan kuajak menikmati hari hari di  negeriku.  Bangun pagi buta, memasak, pergi bekerja, berdesak desakan  dalam kendaraan umum yang jauh dari nyaman sambil menghirup asap beracun  dari saluran pembuangan kendaraan bermotor. ,,,,Sungguh berbeda dengan  negerimu yang serba teratur.,,,, Di sini keringat kami biasa terperas  tanpa mengeluh.