“…lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain.”
(Mohammad Hatta dalam pledoinya di Pengadilan Den Haag (1928) yang berjudul Indonesië Vrij, Indonesia Merdeka).
Pendahuluan
Momen ulang tahun kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke-65 sebagai tonggak sejarah yang menyatukan visi dan misi kebangsaan menuju kemerdekaan, telah berlalu. Secara historis, momen tersebut tentu saja bukan sekedar simbol seremonial. Namun lahir dari sebuah monumen pengorbanan yang tersusun dari tetesan keringat, darah dan air mata. Tidak hanya perjuangan fisik, tapi juga pergolakan intelektual melalui serangkaian diplomasi yang menunjukkan betapa bangsa ini merupakan bangsa besar yang layak atas kemerdekaannya.
Proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta menandai babak baru perjalanan bangsa Indonesia. Alih-alih menganggap kemerdekaan sebagai pemberian penjajah, momentum proklamasi adalah capaian dari sejarah panjang anak bangsa merangkai nasionalisme. Meminjam pemikiran Ernst Renan, nasionalisme adalah kehendak bersama yang berlandaskan nasib yang sama untuk meraih kemerdekaan, melepaskan diri dari penjajah dan menentukan nasib sendiri sebagai sebuah bangsa.
Terlepas dari nostalgia sejarah panjang pendirian bangsa ini, kita telah memasuki era baru di mana ruh nasionalisme mewarnai perjalanan bangsa ini. Kebangkitan nasional yang telah menapaki masa lebih dari satu abad, memberi pelajaran tentang bagaimana menata proses pendewasaan diri dalam mengarungi kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu banyak ujian dan cobaan yang dilalui, namun suatu hal yang pasti, negara ini tetap berdiri dan terus menatap masa depannya.
Meski demikian, sulit dimungkiri, di balik proses yang begitu panjang, tampaknya nasionalisme yang telah mengusung semangat kebangsaan dan merekatkan persatuan dan kesatuan, belum mampu sepenuhnya menegaskan kemerdekaan dan kemandirian, lebih dari sekedar simbol.
Di tengah kemeriahan ulang tahun kemerdekaan, saat itu pula kita menyaksikan fenomena kemiskinan, pengangguran dan kebodohan yang belum terselesaikan. Kebangkitan nasional yang menjadi simbol kebangkitan anak bangsa dalam menegaskan eksistensinya di tengah percaturan global, belum sepenuhnya menuai pemaknaan substansial, tatkala mayoritas anak bangsa masih terbelenggu ketidakpastian sosial, politik dan ekonomi.
Tidak hanya itu, sepuluh tahun lebih sejak amanat reformasi menjanjikan harapan besar bagi terwujudnya kemandirian sosial dan politik seiring runtuhnya rezim otoriter Orde Baru. Partisipasi politik meningkat sejalan dengan penguatan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan. Publik menjadi bagian dari sejarah perjalanan bangsa yang menentukan pilihan politiknya, lepas dari hegemoni kekuasaan. Realitas itu belum cukup membuat bangsa ini menjadi kuat dan mandiri.
Ironisnya, hegemoni justru hanya berubah wajah. Kekuasaan tidak lagi terpusat pada struktur politik otoritarian, tapi melebarkan sayapnya sekaligus berkamuflase menjadi kepentingan elit. Kepentingan itulah yang menjadi bagian dari hegemoni sosial, politik dan budaya negara-negara lain.
Kekayaan Alam
Mungkin bukan sekedar pikiran tak berdasar tatkala para pendiri bangsa ini menyatukan visi kebangsaan melalui momentum Sumpah Pemuda 1928 silam. Aneka ragam suku, budaya, agama dengan berbagai kekhasannya menampakkan diri dan menyatakan secara eksplisit segala harapan yang melahirkan solidaritas, yang terbentuk dari kesamaan nasib keterjajahan. Solidaritas tersebut membangun sebuah proyek bersama untuk menciptakan komunitas yang bebas dari penjajahan.
Pikiran itu sejalan dengan pemahaman yang mendalam tentang struktur kebangsaan Indonesia yang begitu besar. Gugusan pulau dengan potensi sumber daya alam yang berlimpah ruah sangat cukup untuk menghidupi diri sendiri, tanpa harus meminta belas kasih pihak lain. Sebaliknya, bangsa-bangsa lain berbondong-bondong mengulurkan tangan sambil berharap bangsa ini menjalin kerja sama yang saling menguntungkan.
Potensi kekayaan alam inilah yang turut mendukung terwujudnya kemandirian bangsa. Tidak heran, jika sejak awal konstitusi kebangsaan yang terangkum dalam UUD 1945 telah menegaskan bahwa bumi, air dan segala isinya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Hal ini menegaskan bahwa potensi sumber daya alam yang memayungi hajat hidup rakyat tidak akan memiliki pengaruh signifikan bagi kehidupan jika tidak dikelola dengan baik demi kepentingan rakyat.
Kedaulatan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka adalah dasar pijakan untuk menjadi bangsa yang mandiri. Kemandirian yang sudah dicita-citakan oleh para pendiri bangsa bukanlah khayalan belaka karena Tuhan Yang Maha Kuasa telah memberikan kekayaan berlimpah. Indonesia memiliki 17.504 pulau serta wilayah darat seluas 1.922.570 km² yang subur dan dipenuhi dengan kekayaan alam di dalamnya, lautan seluas 3.257.483 km² yang penuh hasil laut baik perikanan maupun tambang.
Wilayah daratan yang sangat luas dan subur, yang pernah menghasilkan swasembada beras, ternyata saat ini belum mampu dikelola dengan baik sehingga harus mengimpor. Bahkan akan semakin meningkat mengingat pertambahan jumlah penduduk, sehingga diprediksi pada tahun 2018 dibutukan beras sebanyak 40,182 juta ton untuk kebutuhan pangan 270,8 juta penduduk. Hal itu belum memperhatikan alih fungsi lahan sawah yang semakin menyempit.
Kekayaan hutan yang sangat luas juga belum mampu dikelola dengan baik. Kita masih dirugikan akibat illegal logging sekitar Rp. 30 triliun setiap tahun, atau sekitar Rp. 83 Miliar setiap hari. Kerugian tersebut tentu lebih besar lagi jika memperhitungkan dampak illegal logging berupa bencana alam dan punahnya khazanah flora, fauna, dan plasma nutfah yang ada di dalam hutan. Sementara di sektor laut, bangsa ini merugi Rp. 40 trilun per tahun akibat pencurian ikan.
Di sektor energi, bangsa Indonesia pernah menikmati hasil ekspor minyak bumi di awal Orde Baru. Saat ini pun Indonesia masih kaya bahan tambang energi baik berupa minyak bumi, batu bara, serta gas alam. Namun akibat kebijakan privatisasi yang tidak terkendali, saat ini lebih dari 85,4% perusahaan energi dikuasai oleh perusahaan asing dengan penerimaan jauh lebih besar dari penerimaan negara di sektor ini.
Potensi sumber daya alam yang merupakan kekayaan bangsa tidak akan pernah berdampak signifikan selama pengelolaan sektor-sektor potensi tersebut terbuka lebar bagi penguasaan asing. Terlebih lagi, begitu sulit menata kekayaan tersebut saat kekuasaan tidak menganggapnya sebagai kekayaan, melebih komoditas berlaka. Sementara pengelolaannya bisa dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk pihak asing.
Konstitusi banga ini telah sedemikian ideal memberi porsi kepentingan bagi rakyat. Namun logika ekonomi yang liberal tidak menempatkan kekayaan tersebut sebagai prioritas untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, kekayaan alam diprivatisasi untuk melicinkan kepentingan asing mengeruk keuntungan yang lebih besar. Akibatnya, rakyat tidak menjadi subjek, namun objek dari kekayaan tersebut.
Kekayaan alam yang melimpah adalah modal yang dapat mengubah dan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang lebih maju, adil, makmur, dan sejahtera. Tetapi, sayangnya bangsa Indonesia kini berada jauh dari kondisi yang diharapkan. Bahkan cita-cita kemakmuran dan keadilan masih jauh dari harapan. Tentu saja, bukan sekedar pemahaman tentang pentingnya memberi porsi yang besar bagi kepentingan rakyat, tapi juga sejauh mana regulasi tentang pengelolaan kekayaan alam sejalan dengan amanat konstitusi. Sebab pada kenyataannya, sulit mewujudkan kepentingan rakyat jika kita masih berpegang pada undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (minerba) yang tidak mengatur pentingnya DMO (domestic market obligation) bagi kepentingan nasional. Ataupun undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang membebaskan kepemilikan asing di sektor tambang hingga 95%.
Karena itulah, penjelasan Hatta tentang penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak (sebagaimana termaktub dalam pasal 33 UUD 1945), adalah dikendalikan dan diatur oleh negara melalui penetapan kebijakan dan regulasi. Kewajiban negara tidak hanya terbatas pada investasinya dalam pengaturan sumber daya alam, tapi lebih dari pada itu, memastikan, melalui kebijakan, agar hajat hidup rakyat terpenuhi.
Penjelasan Hatta ini bisa diaktualisasikan dalam dilema yang sedang dihadapi bangsa ini terkait dengan pengelolaan kekayaan alam. Argumentasi yang seringkali muncul ke permukaan adalah sumber daya manusia atau kemampuan bangsa yang sangat terbatas dalam pengelolaan kekayaan alam tersebut. Gagasan tentang negara yang sebagai regulator menandakan bahwa potensi rakyat harus dilibatkan dalam melakukan investasi atas kekayaan alam tersebut. Khususnya ketika rakyat tidak sekedar merasakan manfaat dari kekayaan alam, tapi juga menjadi bagian dari dalam kegiatan-kegiatan produktif. Dengan demikian iklim ekonomi yang bersumber dari kekayaan alam akan bergerak dengan sendirinya karena gairah keterlibatan rakyat yang begitu besar.
Potensi Sumber Daya Manusia
Menyatukan visi kebangsaan dalam sebuah struktur masyarakat yang beraneka ragam bukanlah perkara mudah. Hal itulah yang dilakukan oleh para pendiri bangsa ini saat berupaya memproklamirkan kemerdekaan dan menata dasar falsafah dan konstitusi negara. Sejarah tentang perdebatan kelompok kaum muda dalam kongres Sumpah Pemuda, pencarian dasar falsafah negara yang melibatkan perdebatan panjang antara kaum nasionalis sekuler dan religius adalah segelintir kisah betapa bangsa besar ini disatukan dari aneka ragam kepentingan yang berbeda-beda.
Namun kesuksesan yang diraih dengan berdirinya negara Indonesia hingga saat ini adalah capaian besar anak bangsa. Tidak hanya itu, tradisi dan budaya yang khas, berupa gotong-royong, tepo seliro, saling asah, asih dan asuh, membedakan bangsa ini dengan bangsa-bangsa lain. Realitas inilah yang menjadi sumber kekuatan sekaligus sumber daya unggul yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Tidak sedikit anak bangsa lahir, besar, terkenal dan disegani bangsa lain, menunjukkan bahwa potensi sumber daya manusia yang unggul cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam menata kehidupan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Memang, secara umum indeks tersebut masih cenderung rendah. Namun, hal ini sangat bergantung pada keseriusan pemerintah untuk memberikan akses yang luas untuk meraih pendidikan dan penghidupan yang layak demi peningkatan kapasitas mereka.
Pemerintah seharusnya membuka mata bahwa sebenarnya telah banyak sumber daya manusia unggul yang terdapat di negara ini. Hanya saja potensi mereka tidak terserap atau tidak dimanfaatkan, disamping kurangnya penghargaan yang diberikan kepada mereka. Banyak terjadi kasus di mana manusia-manusia berkualitas memilih berkarir di negara lain hanya karena tidak mendapat apresiasi dan visi masa depan yang cerah. Pemerintah dan pihak swasta cenderung menggunakan tenaga asing ketimbang tenaga dalam negeri berkualitas, meski biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal.
Seandainya pemerintah mau memperjuangkan nasib rakyat dengan lebih sungguh-sungguh atas para pengusaha asing maka tanpa kekayaan alam yang melimpah pun nasib rakyat ini tidak akan terjual dengan harga yang sangat murah. Terlebih dengan kekayaan alam yang melimpah maka pemerintah harus mempunyai daya tawar yang jauh lebih tinggi dari para pengusaha asing. Pemerintah dapat mewajibkan para pemilik modal menggunakan sumber daya manusia Indonesia sebagai pekerjanya dan kemudian membangun sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas agar dapat hidup lebih sejahtera.
Lagi pula, tanggung jawab tersebut telah tersurat dalam konstitusi UUD 1945, di mana negara berkewajiban menciptakan pendidikan dan penghidupan yang layak bagi rakyat. Negara wajib menggali dan mengembangkan potensi-potensi produktif dari target-target populasi agar agenda kesejahteraan yang lahir dari sumber daya manusia unggul bisa direalisasikan.
Kondisi lingkungan pekerjaan di Indonesia terkadang tidak memberi ruang yang cukup bagi mereka-mereka yang memiliki kemampuan. Para lulusan dengan indeks prestasi luar biasa kesulitan dalam mendapat pekerjaan. Karena kebanyakan perusahaan di Indonesia lebih membutuhkan pekerja-pekerja kelas menengah, yang menyebabkan mereka kurang mendapat kesempatan. Akhirnya mereka memilih bekerja di luar negeri, dengan alasan pengembangan diri, selain faktor penghasilan yang sudah tentu lebih baik dari yang bisa diperoleh.
Karena itu, potensi sumber daya manusia Indonesia tidak bisa sekedar dipandang secara parsial, khususnya saat mereka sekedar dipandang dari kebutuhan kerja dan kontribusinya bagi dunia kerja dalam negeri. Diperlukan tindakan afirmatif, di mana terjalin hubungan yang baik antara politik (pemerintah), pendidikan dan industri. Produk-produk yang dihasilkan sejatinya memiliki keterkaitan dengan dengan industri yang sedang digalakkan oleh negara.
Peluang Globalisasi
Pasca perang dingin telah merubah tatanan dunia yang tidak lagi tersekat dalam kepentingan nasional semata, namun terjalin dalam sebuah jaringan besar yang menghubungkan kepentingan antarnegara. Saat itu, definsi tentang nasionalisme yang menghubungkan kepentingan nasional atas dasar nasib yang sama menjadi tidak relevan. Akibatnya, argumen tentang kemandirian pun mengalami pergeseran paradigma. Globalisasi dianggap bertentangan dengan ide dasar kemandirian.
Globalisasi pada taraf tertentu dipandang sebagai ancaman, sementara dalam hal lain, globalisasi menciptakan ruang yang luas bagi pengembangan individu maupun negara yang didasarkan atas potensi yang mereka miliki. Pada titik inilah, globalisasi menghadirkan peluang sekaligus ancaman. Peluang bagi individu, rakyat dan negara untuk mengembangkan kapasitas dirinya dengan memanfaatkan berbagai sarana dan prasarana global, sekaligus ancaman bagi tergerusnya kepentingan nasional.
Sebatas sebagai peluang, tentu saja, kemandirian memperoleh jalan yang lebih luas untuk dikembangkan. Hanya saja, jalan itu seringkali diselewengkan semata sebagai ancaman. Hal itulah yang tampak saat globalisasi melahirkan ketergantungan terhadap negara-negara lain. Padahal, sebagai peluang, globalisasi menuntut seluruh eleman bangsa yang hendak mandiri untuk berpikir keras mengoptimalkan sumber daya yang ada demi kesejahteraan rakyat.
Kemandirian di alam global bisa dibandingkan saat bangsa ini sedang berada dalam kungkungan rezim otoritarian. Sebab kemandirian memberi kesempatan yang besar bagi individu untuk meningkatkan potensi dirinya untuk berkembang. Namun, ancaman globalisasi tidak surut mempengaruhi nafsu kekuasaan untuk menetapkan kebijakan yang hanya mementingkan segelintir elit. Atas dasar globalisasi, berbagai kerja sama bilateral, regional dan internasional dilakukan dengan mengabaikan pertimbangan publik. Atas dasar globalisasi pula lah kita menggantungkan harapan dan masa depan bangsa kepada negara-negara lain.
Kemandirian bukan berarti melepaskan diri dari hubungan-hubungan dengan negara lain, namun berusaha menyeimbangkan hubungan itu dengan memperkuat daya saing melalui pilihan kebijakan sosial, ekonomi dan politik yang berpihak pada rakyat. Karena itu, globalisasi sebatas memberi akses pada keterbukaan, sementara kemandirian akan terus terjalin dengan baik ketika akses tersebut dipergunakan untuk memperkuat eksistensi diri sebagai bangsa. Hal itulah yang perlu dilakukan dengan menyediakan sarana dan prasarana pendukung bagi peningkatan bagi kapasitas anak bangsa.
Globalisasi mengajak seluruh bangsa memperteguh kemandiriannnya dengan potensi yang mereka miliki. Bukan secara sederhana dipahami sebatas intervensi pihak luar atas kedaulatan negara sendiri. Boleh jadi, sikap inilah yang tergambar saat berbagai peristiwa sosial dan politik yang sulit dibendung karena alasan kepentingan politik dan ekonomi dengan pihak luar. Terlalu jauh untuk mengambil contoh kedigdayaan Amerika Serikat yang bisa mengontrol berbagai kebijakan yang seharusnya kita putuskan, melepaskan diri dari negara tetangga saja, seperti Malaysia dan Singapura dan mempertegas posisi tawar kita sebagai bangsa dan rakyat yang berdaulat pun terasa sulit. Kondisi ini sedikit menunjukkan betapa kerdil bangsa ini, dan begitu besar ketergantungan kita terhadap pihak luar, bahkan kepada negara-negara yang luasnya lebih kecil dari pulau terbesar di negeri ini.
Karena itu, pemaknaan atas globalisasi seringkali lebih berkutat pada persoalan sudut pandang. Dalam sudut pandang yang ekstrim, globalisasi tak ubahnya seperti “raksasa” yang siap memangsa. Globalisasi menjadi metamorfosa bentuk halus (soft shape) dari imperaliasme. Di balik itu, sesungguhnya sesungguhnya bersemayam kepentingan kelas atas kelas tertentu. Yakni kelas kapitalis internasional yang berupaya melebarkan sayap-sayap pengaruh, dominasi serta hegemoni ekonomi mereka ke segenap penjuru dunia.
Dalam asumsi kemandirian, tentu saja pemaknaan itu tidak cukup relevan. Kita bisa memandang efek positif globalisasi dengan tersebarnya informasi dan teknologi, sehingga tidak melulu tentang dominasi ekonomi antar satu pihak atas pihak lainnya. Dengan demikian, kita bisa menemukan spirit kemandirian bangsa di tengah arus globalisasi. Bangsa mandiri adalah bangsa yang mampu menjawab tantangan zamannya tanpa kehilangan jati diri dan kepentingan nasionalnya sebagai bangsa yang merdeka.
Kepemimpinan yang Mandiri
Generasi pendiri bangsa dan negara ini memperlihatkan karakter bangsa pejuang yang ulet dan hebat, menolak didikte dan merancang sendiri skenario masa depan bangsanya. Banyak yang menyatakan bahwa generasi pendiri bangsa kita adalah “the golden generation”, karena mereka bukan saja terdidik tetapi juga tercerahkan dan memiliki semangat perjuangan yang amat besar, dengan percaya diri merebut kemerdekaan dan membangun kemandirian bangsanya.
Semangat kemandirian sulit terwujud tanpa dukungan karakter kepemimpinan yang menelandankan sifat tersebut. Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai pemimpin bangsa di era kemerdekaan menyusun strategi kemandirian dengan memapankan konsep nasionalisme dalam setiap kebijakan sosial dan politik mereka. Kebijakan itulah yang, misalnya, tergambar dalam diktum “Trisakti” Soekarno, yakni mandiri di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya. Mandiri di bidang politik dan berdikari dibidang ekonomi bukanlah diktum yang kemudian menganjurkan bangsa ini mengisolasi diri dari dunia luar, namun memperluas kerjasama dengan negara-negara non-imperialis. Sementara lebih berorientasi luar negeri dalam bentuk kerjasama ekonomi yang sederajat, setara dan bermartabat.
Sementara itu, Hatta menegaskan kemandirian yang berorientasi pada kekuatan pasar dalam negeri yang didukung oleh tenaga beli rakyat, tidak menjuruskannya terperosok ke dalam paham isolasionisme ekonomi. Hatta tidak menolak interdependensi ekonomi internasional, yang ia tentang adalah dependensi ekonomi nasional terhadap ekonomi internasional. Bagi Hatta, kemandirian bukan pengucilan diri, kemandirian bisa dalam wujud dinamiknya, yaitu interdependensi. Dalam interdependensi global dan ekonomi terbuka, Hatta tetap teguh mempertahankan prinsip independensi, yaitu bahwa dengan memberikan kesempatan pada bangsa asing menanam modalnya di Indonesia, namun kita sendirilah yang harus tetap menentukan syarat-syaratnya.
Tipikal kemandirian yang ditunjukkan oleh kedua Soekarno dann Hatta tersebut tidak menafikan kecenderungan globalisasi, pun tidak menjadikan globalisasi sebagai alasan tergerusnya nasionalisme dan kemandirian bangsa. Kepemimpinan yang mandiri mampu menghubungkan kecenderungan global dengan kepentingan nasional sebagai potensi untuk memperkokoh kemandirian nasional
Karena itu, ada 4 (empat) sifat kepemimpinan yang dibutuhkan oleh pemimpinan yang mandiri: 1) kepemimpinan yang transformatif; 2) kepemimpinan visioner; 3) kepemimpinan yang kuat (strong leadership); 4) kepemimpinan nasional-kerakyatan.
Kepemimpinan tranformatif adalah kepemimpinan yang mampu mendorong dan menggerakkan rakyat guna memanfaatkan potensi dan kapabilitasnya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Pada taraf ini kepemimpinan yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang tidak banyak berkeluh kesah, melainkan kepemimpinan yang memiliki daya juang dan motivasi tinggi. Sehingga kepemimpinanya mampu memotivasi dan menginspirasi bangsanya.
Kepemimpinan visioner adalah kepemimpinan yang mampu melihat gambaran masa depan. Gambaran masa depan itu adalah cita-cita yang ingin dituju. Dengan visi itu, ia dapat mengarahkan dan mengerahkan segala kemampuan (capability) bangsa untuk mewujudkan visi tersebut. Kepemimpinan yang visioner adalah kepemimpinan yang mengetahui arah bangsa dalam setiap kecenderungan dan perubahan zaman.
Kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang tegas, jelas, berkarakter, yang menyatukan perkatan dengan perbuataan. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar yang besar harus memiliki kepastian. Kepastian itu bisa berupa kepastian tentang arah program dan kebijakan, serta kepastian keadilan dan hukum, maupun kepastian akses mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak. Kepemimpinan nasional kerakyatan adalah kepemimpinan yang memiliki sensitivitas kepedulian yang tinggi terhadap kepentingan nasional dan rakyat. Sehingga kebijakan politik atau ekonomi dari kepemimpinan haruslah bermuara dan berorientasi pada kepentingan nasional dan masyarakatnya.
Keempat tipikal tersebut menunjukkan jati diri kepemimpinan bangsa yang mandiri. Hal itu sangat bergantung pada sejauh mana pola kepemimpinan memiliki kepercayaan diri (self-confidence) untuk membawa bangsanya memiliki kemandirian. Soekarno, Hatta dan beberapa pemimpin bangsa di awal masa kemerdekaan telah menunjukkan bahwa kemandirian tidak akan membuat bangsanya menjadi rendah, sebaliknya, kemandirian akan menaikkan derajat bangsa sejajar dan melampaui negara-negara lain.
Penutup: Kemandirian Bangsa
Menjadi bangsa yang mandiri memang tidaklah mudah. Di tengah arus globalisasi yang mempertautkan berbagai kepentingan, kemandirian terkadang menjadi jargon klasik awal masa kemerdekaan, sebatas kehendak untuk menegaskan eksistensi dan memperoleh pengakuan oleh bangsa-bangsa lain. Setelah itu, kepentingan bangsa akan larut dalam sistem kapitalistik yang diwarnai ketergantungan antara satu sama lain. Alih-alih ketergantungan membuahkan kesejajaran, justru membuatnya bangsa ini berada dalam hegemoni negara-negara lain.
Sulit dimungkiri, kondisi ini tidak lepas dari konsepsi tentang kemandirian yang abstrak serta cenderung tidak mendatangkan keuntungan secara materi. Karena itu, pola pikir pragmatis akan sulit memahaman substansi kemandirian sebagai suatu konsep yang akan bermanfaat dalam jangka panjang. Namun, konsekuensi yang harus diterima adalah tergadainya masa depan bangsa di masa yang akan datang.
Di balik itu, abstraksi tentang kemandirian dengan jelas tersurat dalam aline kedua Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Kalimat tersebut menunjukkan bahwa kemerdekaan adalah sebuah jembatan. Tujuan akhir kemerdekaan adalah mencapai masyarakat adil dan makmur yang hanya dapat dilakukan jika bangsa dan masyarakat dapat menentukan nasibnya sendiri, yaitu dengan cara membentuk negara yang berdaulat. Hanya dengan adanya kedaulatan, bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang mandiri, baik dalam menentukan nasib sendiri maupun dalam upaya mencapai masyarakat adil dan makmur.
Makna kedaulatan tersebut adalah kemandirian bangsa. Kemandirian hanya dapat diperoleh jika suatu bangsa memiliki kedaulatan. Sebaliknya, kedaulatan hanya dapat diwujudkan dan dipertahankan jika suatu bangsa tidak bergantung kepada bangsa lain. Bangsa yang berdaulat adalah bangsa yang mandiri baik secara politik, ekonomi, maupun budaya. Kemerdekaan dan kedaulatan menjadi tidak bermakna jika suatu bangsa bergantung atau selalu dipaksa menuruti kehendak bangsa lain. Namun demikian kemandirian tidak berarti mengucilkan diri dari bangsa-bangsa lain. Kemandirian memiliki sisi dinamis antara interdependensi dan independensi.
Bukan sekedar khayalan belaka jika para pendiri bangsa ini menjadikan kedaulatan dan kemandirian sebagai prasyarat berdiri dan keberlangsungan bangsa. Potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia mendukung terwujudnya kemandirian tersebut, meski tidak berarti harus tergadai oleh kepentingan negara-negara lain. Di tengah arus globalisasi, godaan untuk menggadaikan potensi kemandirian bangsa begitu kuat. Namun dengan ruh kesejarahan, nasionalisme dan konstitusi, bangsa Indonesia memiliki pedoman kehidupan kebangsaan yang mampu membentengi potensi tersebut agar terpelihara dengan baik dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
(Mohammad Hatta dalam pledoinya di Pengadilan Den Haag (1928) yang berjudul Indonesië Vrij, Indonesia Merdeka).
Pendahuluan
Momen ulang tahun kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke-65 sebagai tonggak sejarah yang menyatukan visi dan misi kebangsaan menuju kemerdekaan, telah berlalu. Secara historis, momen tersebut tentu saja bukan sekedar simbol seremonial. Namun lahir dari sebuah monumen pengorbanan yang tersusun dari tetesan keringat, darah dan air mata. Tidak hanya perjuangan fisik, tapi juga pergolakan intelektual melalui serangkaian diplomasi yang menunjukkan betapa bangsa ini merupakan bangsa besar yang layak atas kemerdekaannya.
Proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta menandai babak baru perjalanan bangsa Indonesia. Alih-alih menganggap kemerdekaan sebagai pemberian penjajah, momentum proklamasi adalah capaian dari sejarah panjang anak bangsa merangkai nasionalisme. Meminjam pemikiran Ernst Renan, nasionalisme adalah kehendak bersama yang berlandaskan nasib yang sama untuk meraih kemerdekaan, melepaskan diri dari penjajah dan menentukan nasib sendiri sebagai sebuah bangsa.
Terlepas dari nostalgia sejarah panjang pendirian bangsa ini, kita telah memasuki era baru di mana ruh nasionalisme mewarnai perjalanan bangsa ini. Kebangkitan nasional yang telah menapaki masa lebih dari satu abad, memberi pelajaran tentang bagaimana menata proses pendewasaan diri dalam mengarungi kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu banyak ujian dan cobaan yang dilalui, namun suatu hal yang pasti, negara ini tetap berdiri dan terus menatap masa depannya.
Meski demikian, sulit dimungkiri, di balik proses yang begitu panjang, tampaknya nasionalisme yang telah mengusung semangat kebangsaan dan merekatkan persatuan dan kesatuan, belum mampu sepenuhnya menegaskan kemerdekaan dan kemandirian, lebih dari sekedar simbol.
Di tengah kemeriahan ulang tahun kemerdekaan, saat itu pula kita menyaksikan fenomena kemiskinan, pengangguran dan kebodohan yang belum terselesaikan. Kebangkitan nasional yang menjadi simbol kebangkitan anak bangsa dalam menegaskan eksistensinya di tengah percaturan global, belum sepenuhnya menuai pemaknaan substansial, tatkala mayoritas anak bangsa masih terbelenggu ketidakpastian sosial, politik dan ekonomi.
Tidak hanya itu, sepuluh tahun lebih sejak amanat reformasi menjanjikan harapan besar bagi terwujudnya kemandirian sosial dan politik seiring runtuhnya rezim otoriter Orde Baru. Partisipasi politik meningkat sejalan dengan penguatan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan. Publik menjadi bagian dari sejarah perjalanan bangsa yang menentukan pilihan politiknya, lepas dari hegemoni kekuasaan. Realitas itu belum cukup membuat bangsa ini menjadi kuat dan mandiri.
Ironisnya, hegemoni justru hanya berubah wajah. Kekuasaan tidak lagi terpusat pada struktur politik otoritarian, tapi melebarkan sayapnya sekaligus berkamuflase menjadi kepentingan elit. Kepentingan itulah yang menjadi bagian dari hegemoni sosial, politik dan budaya negara-negara lain.
Kekayaan Alam
Mungkin bukan sekedar pikiran tak berdasar tatkala para pendiri bangsa ini menyatukan visi kebangsaan melalui momentum Sumpah Pemuda 1928 silam. Aneka ragam suku, budaya, agama dengan berbagai kekhasannya menampakkan diri dan menyatakan secara eksplisit segala harapan yang melahirkan solidaritas, yang terbentuk dari kesamaan nasib keterjajahan. Solidaritas tersebut membangun sebuah proyek bersama untuk menciptakan komunitas yang bebas dari penjajahan.
Pikiran itu sejalan dengan pemahaman yang mendalam tentang struktur kebangsaan Indonesia yang begitu besar. Gugusan pulau dengan potensi sumber daya alam yang berlimpah ruah sangat cukup untuk menghidupi diri sendiri, tanpa harus meminta belas kasih pihak lain. Sebaliknya, bangsa-bangsa lain berbondong-bondong mengulurkan tangan sambil berharap bangsa ini menjalin kerja sama yang saling menguntungkan.
Potensi kekayaan alam inilah yang turut mendukung terwujudnya kemandirian bangsa. Tidak heran, jika sejak awal konstitusi kebangsaan yang terangkum dalam UUD 1945 telah menegaskan bahwa bumi, air dan segala isinya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Hal ini menegaskan bahwa potensi sumber daya alam yang memayungi hajat hidup rakyat tidak akan memiliki pengaruh signifikan bagi kehidupan jika tidak dikelola dengan baik demi kepentingan rakyat.
Kedaulatan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka adalah dasar pijakan untuk menjadi bangsa yang mandiri. Kemandirian yang sudah dicita-citakan oleh para pendiri bangsa bukanlah khayalan belaka karena Tuhan Yang Maha Kuasa telah memberikan kekayaan berlimpah. Indonesia memiliki 17.504 pulau serta wilayah darat seluas 1.922.570 km² yang subur dan dipenuhi dengan kekayaan alam di dalamnya, lautan seluas 3.257.483 km² yang penuh hasil laut baik perikanan maupun tambang.
Wilayah daratan yang sangat luas dan subur, yang pernah menghasilkan swasembada beras, ternyata saat ini belum mampu dikelola dengan baik sehingga harus mengimpor. Bahkan akan semakin meningkat mengingat pertambahan jumlah penduduk, sehingga diprediksi pada tahun 2018 dibutukan beras sebanyak 40,182 juta ton untuk kebutuhan pangan 270,8 juta penduduk. Hal itu belum memperhatikan alih fungsi lahan sawah yang semakin menyempit.
Kekayaan hutan yang sangat luas juga belum mampu dikelola dengan baik. Kita masih dirugikan akibat illegal logging sekitar Rp. 30 triliun setiap tahun, atau sekitar Rp. 83 Miliar setiap hari. Kerugian tersebut tentu lebih besar lagi jika memperhitungkan dampak illegal logging berupa bencana alam dan punahnya khazanah flora, fauna, dan plasma nutfah yang ada di dalam hutan. Sementara di sektor laut, bangsa ini merugi Rp. 40 trilun per tahun akibat pencurian ikan.
Di sektor energi, bangsa Indonesia pernah menikmati hasil ekspor minyak bumi di awal Orde Baru. Saat ini pun Indonesia masih kaya bahan tambang energi baik berupa minyak bumi, batu bara, serta gas alam. Namun akibat kebijakan privatisasi yang tidak terkendali, saat ini lebih dari 85,4% perusahaan energi dikuasai oleh perusahaan asing dengan penerimaan jauh lebih besar dari penerimaan negara di sektor ini.
Potensi sumber daya alam yang merupakan kekayaan bangsa tidak akan pernah berdampak signifikan selama pengelolaan sektor-sektor potensi tersebut terbuka lebar bagi penguasaan asing. Terlebih lagi, begitu sulit menata kekayaan tersebut saat kekuasaan tidak menganggapnya sebagai kekayaan, melebih komoditas berlaka. Sementara pengelolaannya bisa dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk pihak asing.
Konstitusi banga ini telah sedemikian ideal memberi porsi kepentingan bagi rakyat. Namun logika ekonomi yang liberal tidak menempatkan kekayaan tersebut sebagai prioritas untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, kekayaan alam diprivatisasi untuk melicinkan kepentingan asing mengeruk keuntungan yang lebih besar. Akibatnya, rakyat tidak menjadi subjek, namun objek dari kekayaan tersebut.
Kekayaan alam yang melimpah adalah modal yang dapat mengubah dan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang lebih maju, adil, makmur, dan sejahtera. Tetapi, sayangnya bangsa Indonesia kini berada jauh dari kondisi yang diharapkan. Bahkan cita-cita kemakmuran dan keadilan masih jauh dari harapan. Tentu saja, bukan sekedar pemahaman tentang pentingnya memberi porsi yang besar bagi kepentingan rakyat, tapi juga sejauh mana regulasi tentang pengelolaan kekayaan alam sejalan dengan amanat konstitusi. Sebab pada kenyataannya, sulit mewujudkan kepentingan rakyat jika kita masih berpegang pada undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (minerba) yang tidak mengatur pentingnya DMO (domestic market obligation) bagi kepentingan nasional. Ataupun undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang membebaskan kepemilikan asing di sektor tambang hingga 95%.
Karena itulah, penjelasan Hatta tentang penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak (sebagaimana termaktub dalam pasal 33 UUD 1945), adalah dikendalikan dan diatur oleh negara melalui penetapan kebijakan dan regulasi. Kewajiban negara tidak hanya terbatas pada investasinya dalam pengaturan sumber daya alam, tapi lebih dari pada itu, memastikan, melalui kebijakan, agar hajat hidup rakyat terpenuhi.
Penjelasan Hatta ini bisa diaktualisasikan dalam dilema yang sedang dihadapi bangsa ini terkait dengan pengelolaan kekayaan alam. Argumentasi yang seringkali muncul ke permukaan adalah sumber daya manusia atau kemampuan bangsa yang sangat terbatas dalam pengelolaan kekayaan alam tersebut. Gagasan tentang negara yang sebagai regulator menandakan bahwa potensi rakyat harus dilibatkan dalam melakukan investasi atas kekayaan alam tersebut. Khususnya ketika rakyat tidak sekedar merasakan manfaat dari kekayaan alam, tapi juga menjadi bagian dari dalam kegiatan-kegiatan produktif. Dengan demikian iklim ekonomi yang bersumber dari kekayaan alam akan bergerak dengan sendirinya karena gairah keterlibatan rakyat yang begitu besar.
Potensi Sumber Daya Manusia
Menyatukan visi kebangsaan dalam sebuah struktur masyarakat yang beraneka ragam bukanlah perkara mudah. Hal itulah yang dilakukan oleh para pendiri bangsa ini saat berupaya memproklamirkan kemerdekaan dan menata dasar falsafah dan konstitusi negara. Sejarah tentang perdebatan kelompok kaum muda dalam kongres Sumpah Pemuda, pencarian dasar falsafah negara yang melibatkan perdebatan panjang antara kaum nasionalis sekuler dan religius adalah segelintir kisah betapa bangsa besar ini disatukan dari aneka ragam kepentingan yang berbeda-beda.
Namun kesuksesan yang diraih dengan berdirinya negara Indonesia hingga saat ini adalah capaian besar anak bangsa. Tidak hanya itu, tradisi dan budaya yang khas, berupa gotong-royong, tepo seliro, saling asah, asih dan asuh, membedakan bangsa ini dengan bangsa-bangsa lain. Realitas inilah yang menjadi sumber kekuatan sekaligus sumber daya unggul yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Tidak sedikit anak bangsa lahir, besar, terkenal dan disegani bangsa lain, menunjukkan bahwa potensi sumber daya manusia yang unggul cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam menata kehidupan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Memang, secara umum indeks tersebut masih cenderung rendah. Namun, hal ini sangat bergantung pada keseriusan pemerintah untuk memberikan akses yang luas untuk meraih pendidikan dan penghidupan yang layak demi peningkatan kapasitas mereka.
Pemerintah seharusnya membuka mata bahwa sebenarnya telah banyak sumber daya manusia unggul yang terdapat di negara ini. Hanya saja potensi mereka tidak terserap atau tidak dimanfaatkan, disamping kurangnya penghargaan yang diberikan kepada mereka. Banyak terjadi kasus di mana manusia-manusia berkualitas memilih berkarir di negara lain hanya karena tidak mendapat apresiasi dan visi masa depan yang cerah. Pemerintah dan pihak swasta cenderung menggunakan tenaga asing ketimbang tenaga dalam negeri berkualitas, meski biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal.
Seandainya pemerintah mau memperjuangkan nasib rakyat dengan lebih sungguh-sungguh atas para pengusaha asing maka tanpa kekayaan alam yang melimpah pun nasib rakyat ini tidak akan terjual dengan harga yang sangat murah. Terlebih dengan kekayaan alam yang melimpah maka pemerintah harus mempunyai daya tawar yang jauh lebih tinggi dari para pengusaha asing. Pemerintah dapat mewajibkan para pemilik modal menggunakan sumber daya manusia Indonesia sebagai pekerjanya dan kemudian membangun sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas agar dapat hidup lebih sejahtera.
Lagi pula, tanggung jawab tersebut telah tersurat dalam konstitusi UUD 1945, di mana negara berkewajiban menciptakan pendidikan dan penghidupan yang layak bagi rakyat. Negara wajib menggali dan mengembangkan potensi-potensi produktif dari target-target populasi agar agenda kesejahteraan yang lahir dari sumber daya manusia unggul bisa direalisasikan.
Kondisi lingkungan pekerjaan di Indonesia terkadang tidak memberi ruang yang cukup bagi mereka-mereka yang memiliki kemampuan. Para lulusan dengan indeks prestasi luar biasa kesulitan dalam mendapat pekerjaan. Karena kebanyakan perusahaan di Indonesia lebih membutuhkan pekerja-pekerja kelas menengah, yang menyebabkan mereka kurang mendapat kesempatan. Akhirnya mereka memilih bekerja di luar negeri, dengan alasan pengembangan diri, selain faktor penghasilan yang sudah tentu lebih baik dari yang bisa diperoleh.
Karena itu, potensi sumber daya manusia Indonesia tidak bisa sekedar dipandang secara parsial, khususnya saat mereka sekedar dipandang dari kebutuhan kerja dan kontribusinya bagi dunia kerja dalam negeri. Diperlukan tindakan afirmatif, di mana terjalin hubungan yang baik antara politik (pemerintah), pendidikan dan industri. Produk-produk yang dihasilkan sejatinya memiliki keterkaitan dengan dengan industri yang sedang digalakkan oleh negara.
Peluang Globalisasi
Pasca perang dingin telah merubah tatanan dunia yang tidak lagi tersekat dalam kepentingan nasional semata, namun terjalin dalam sebuah jaringan besar yang menghubungkan kepentingan antarnegara. Saat itu, definsi tentang nasionalisme yang menghubungkan kepentingan nasional atas dasar nasib yang sama menjadi tidak relevan. Akibatnya, argumen tentang kemandirian pun mengalami pergeseran paradigma. Globalisasi dianggap bertentangan dengan ide dasar kemandirian.
Globalisasi pada taraf tertentu dipandang sebagai ancaman, sementara dalam hal lain, globalisasi menciptakan ruang yang luas bagi pengembangan individu maupun negara yang didasarkan atas potensi yang mereka miliki. Pada titik inilah, globalisasi menghadirkan peluang sekaligus ancaman. Peluang bagi individu, rakyat dan negara untuk mengembangkan kapasitas dirinya dengan memanfaatkan berbagai sarana dan prasarana global, sekaligus ancaman bagi tergerusnya kepentingan nasional.
Sebatas sebagai peluang, tentu saja, kemandirian memperoleh jalan yang lebih luas untuk dikembangkan. Hanya saja, jalan itu seringkali diselewengkan semata sebagai ancaman. Hal itulah yang tampak saat globalisasi melahirkan ketergantungan terhadap negara-negara lain. Padahal, sebagai peluang, globalisasi menuntut seluruh eleman bangsa yang hendak mandiri untuk berpikir keras mengoptimalkan sumber daya yang ada demi kesejahteraan rakyat.
Kemandirian di alam global bisa dibandingkan saat bangsa ini sedang berada dalam kungkungan rezim otoritarian. Sebab kemandirian memberi kesempatan yang besar bagi individu untuk meningkatkan potensi dirinya untuk berkembang. Namun, ancaman globalisasi tidak surut mempengaruhi nafsu kekuasaan untuk menetapkan kebijakan yang hanya mementingkan segelintir elit. Atas dasar globalisasi, berbagai kerja sama bilateral, regional dan internasional dilakukan dengan mengabaikan pertimbangan publik. Atas dasar globalisasi pula lah kita menggantungkan harapan dan masa depan bangsa kepada negara-negara lain.
Kemandirian bukan berarti melepaskan diri dari hubungan-hubungan dengan negara lain, namun berusaha menyeimbangkan hubungan itu dengan memperkuat daya saing melalui pilihan kebijakan sosial, ekonomi dan politik yang berpihak pada rakyat. Karena itu, globalisasi sebatas memberi akses pada keterbukaan, sementara kemandirian akan terus terjalin dengan baik ketika akses tersebut dipergunakan untuk memperkuat eksistensi diri sebagai bangsa. Hal itulah yang perlu dilakukan dengan menyediakan sarana dan prasarana pendukung bagi peningkatan bagi kapasitas anak bangsa.
Globalisasi mengajak seluruh bangsa memperteguh kemandiriannnya dengan potensi yang mereka miliki. Bukan secara sederhana dipahami sebatas intervensi pihak luar atas kedaulatan negara sendiri. Boleh jadi, sikap inilah yang tergambar saat berbagai peristiwa sosial dan politik yang sulit dibendung karena alasan kepentingan politik dan ekonomi dengan pihak luar. Terlalu jauh untuk mengambil contoh kedigdayaan Amerika Serikat yang bisa mengontrol berbagai kebijakan yang seharusnya kita putuskan, melepaskan diri dari negara tetangga saja, seperti Malaysia dan Singapura dan mempertegas posisi tawar kita sebagai bangsa dan rakyat yang berdaulat pun terasa sulit. Kondisi ini sedikit menunjukkan betapa kerdil bangsa ini, dan begitu besar ketergantungan kita terhadap pihak luar, bahkan kepada negara-negara yang luasnya lebih kecil dari pulau terbesar di negeri ini.
Karena itu, pemaknaan atas globalisasi seringkali lebih berkutat pada persoalan sudut pandang. Dalam sudut pandang yang ekstrim, globalisasi tak ubahnya seperti “raksasa” yang siap memangsa. Globalisasi menjadi metamorfosa bentuk halus (soft shape) dari imperaliasme. Di balik itu, sesungguhnya sesungguhnya bersemayam kepentingan kelas atas kelas tertentu. Yakni kelas kapitalis internasional yang berupaya melebarkan sayap-sayap pengaruh, dominasi serta hegemoni ekonomi mereka ke segenap penjuru dunia.
Dalam asumsi kemandirian, tentu saja pemaknaan itu tidak cukup relevan. Kita bisa memandang efek positif globalisasi dengan tersebarnya informasi dan teknologi, sehingga tidak melulu tentang dominasi ekonomi antar satu pihak atas pihak lainnya. Dengan demikian, kita bisa menemukan spirit kemandirian bangsa di tengah arus globalisasi. Bangsa mandiri adalah bangsa yang mampu menjawab tantangan zamannya tanpa kehilangan jati diri dan kepentingan nasionalnya sebagai bangsa yang merdeka.
Kepemimpinan yang Mandiri
Generasi pendiri bangsa dan negara ini memperlihatkan karakter bangsa pejuang yang ulet dan hebat, menolak didikte dan merancang sendiri skenario masa depan bangsanya. Banyak yang menyatakan bahwa generasi pendiri bangsa kita adalah “the golden generation”, karena mereka bukan saja terdidik tetapi juga tercerahkan dan memiliki semangat perjuangan yang amat besar, dengan percaya diri merebut kemerdekaan dan membangun kemandirian bangsanya.
Semangat kemandirian sulit terwujud tanpa dukungan karakter kepemimpinan yang menelandankan sifat tersebut. Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai pemimpin bangsa di era kemerdekaan menyusun strategi kemandirian dengan memapankan konsep nasionalisme dalam setiap kebijakan sosial dan politik mereka. Kebijakan itulah yang, misalnya, tergambar dalam diktum “Trisakti” Soekarno, yakni mandiri di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya. Mandiri di bidang politik dan berdikari dibidang ekonomi bukanlah diktum yang kemudian menganjurkan bangsa ini mengisolasi diri dari dunia luar, namun memperluas kerjasama dengan negara-negara non-imperialis. Sementara lebih berorientasi luar negeri dalam bentuk kerjasama ekonomi yang sederajat, setara dan bermartabat.
Sementara itu, Hatta menegaskan kemandirian yang berorientasi pada kekuatan pasar dalam negeri yang didukung oleh tenaga beli rakyat, tidak menjuruskannya terperosok ke dalam paham isolasionisme ekonomi. Hatta tidak menolak interdependensi ekonomi internasional, yang ia tentang adalah dependensi ekonomi nasional terhadap ekonomi internasional. Bagi Hatta, kemandirian bukan pengucilan diri, kemandirian bisa dalam wujud dinamiknya, yaitu interdependensi. Dalam interdependensi global dan ekonomi terbuka, Hatta tetap teguh mempertahankan prinsip independensi, yaitu bahwa dengan memberikan kesempatan pada bangsa asing menanam modalnya di Indonesia, namun kita sendirilah yang harus tetap menentukan syarat-syaratnya.
Tipikal kemandirian yang ditunjukkan oleh kedua Soekarno dann Hatta tersebut tidak menafikan kecenderungan globalisasi, pun tidak menjadikan globalisasi sebagai alasan tergerusnya nasionalisme dan kemandirian bangsa. Kepemimpinan yang mandiri mampu menghubungkan kecenderungan global dengan kepentingan nasional sebagai potensi untuk memperkokoh kemandirian nasional
Karena itu, ada 4 (empat) sifat kepemimpinan yang dibutuhkan oleh pemimpinan yang mandiri: 1) kepemimpinan yang transformatif; 2) kepemimpinan visioner; 3) kepemimpinan yang kuat (strong leadership); 4) kepemimpinan nasional-kerakyatan.
Kepemimpinan tranformatif adalah kepemimpinan yang mampu mendorong dan menggerakkan rakyat guna memanfaatkan potensi dan kapabilitasnya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Pada taraf ini kepemimpinan yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang tidak banyak berkeluh kesah, melainkan kepemimpinan yang memiliki daya juang dan motivasi tinggi. Sehingga kepemimpinanya mampu memotivasi dan menginspirasi bangsanya.
Kepemimpinan visioner adalah kepemimpinan yang mampu melihat gambaran masa depan. Gambaran masa depan itu adalah cita-cita yang ingin dituju. Dengan visi itu, ia dapat mengarahkan dan mengerahkan segala kemampuan (capability) bangsa untuk mewujudkan visi tersebut. Kepemimpinan yang visioner adalah kepemimpinan yang mengetahui arah bangsa dalam setiap kecenderungan dan perubahan zaman.
Kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang tegas, jelas, berkarakter, yang menyatukan perkatan dengan perbuataan. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar yang besar harus memiliki kepastian. Kepastian itu bisa berupa kepastian tentang arah program dan kebijakan, serta kepastian keadilan dan hukum, maupun kepastian akses mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak. Kepemimpinan nasional kerakyatan adalah kepemimpinan yang memiliki sensitivitas kepedulian yang tinggi terhadap kepentingan nasional dan rakyat. Sehingga kebijakan politik atau ekonomi dari kepemimpinan haruslah bermuara dan berorientasi pada kepentingan nasional dan masyarakatnya.
Keempat tipikal tersebut menunjukkan jati diri kepemimpinan bangsa yang mandiri. Hal itu sangat bergantung pada sejauh mana pola kepemimpinan memiliki kepercayaan diri (self-confidence) untuk membawa bangsanya memiliki kemandirian. Soekarno, Hatta dan beberapa pemimpin bangsa di awal masa kemerdekaan telah menunjukkan bahwa kemandirian tidak akan membuat bangsanya menjadi rendah, sebaliknya, kemandirian akan menaikkan derajat bangsa sejajar dan melampaui negara-negara lain.
Penutup: Kemandirian Bangsa
Menjadi bangsa yang mandiri memang tidaklah mudah. Di tengah arus globalisasi yang mempertautkan berbagai kepentingan, kemandirian terkadang menjadi jargon klasik awal masa kemerdekaan, sebatas kehendak untuk menegaskan eksistensi dan memperoleh pengakuan oleh bangsa-bangsa lain. Setelah itu, kepentingan bangsa akan larut dalam sistem kapitalistik yang diwarnai ketergantungan antara satu sama lain. Alih-alih ketergantungan membuahkan kesejajaran, justru membuatnya bangsa ini berada dalam hegemoni negara-negara lain.
Sulit dimungkiri, kondisi ini tidak lepas dari konsepsi tentang kemandirian yang abstrak serta cenderung tidak mendatangkan keuntungan secara materi. Karena itu, pola pikir pragmatis akan sulit memahaman substansi kemandirian sebagai suatu konsep yang akan bermanfaat dalam jangka panjang. Namun, konsekuensi yang harus diterima adalah tergadainya masa depan bangsa di masa yang akan datang.
Di balik itu, abstraksi tentang kemandirian dengan jelas tersurat dalam aline kedua Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Kalimat tersebut menunjukkan bahwa kemerdekaan adalah sebuah jembatan. Tujuan akhir kemerdekaan adalah mencapai masyarakat adil dan makmur yang hanya dapat dilakukan jika bangsa dan masyarakat dapat menentukan nasibnya sendiri, yaitu dengan cara membentuk negara yang berdaulat. Hanya dengan adanya kedaulatan, bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang mandiri, baik dalam menentukan nasib sendiri maupun dalam upaya mencapai masyarakat adil dan makmur.
Makna kedaulatan tersebut adalah kemandirian bangsa. Kemandirian hanya dapat diperoleh jika suatu bangsa memiliki kedaulatan. Sebaliknya, kedaulatan hanya dapat diwujudkan dan dipertahankan jika suatu bangsa tidak bergantung kepada bangsa lain. Bangsa yang berdaulat adalah bangsa yang mandiri baik secara politik, ekonomi, maupun budaya. Kemerdekaan dan kedaulatan menjadi tidak bermakna jika suatu bangsa bergantung atau selalu dipaksa menuruti kehendak bangsa lain. Namun demikian kemandirian tidak berarti mengucilkan diri dari bangsa-bangsa lain. Kemandirian memiliki sisi dinamis antara interdependensi dan independensi.
Bukan sekedar khayalan belaka jika para pendiri bangsa ini menjadikan kedaulatan dan kemandirian sebagai prasyarat berdiri dan keberlangsungan bangsa. Potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia mendukung terwujudnya kemandirian tersebut, meski tidak berarti harus tergadai oleh kepentingan negara-negara lain. Di tengah arus globalisasi, godaan untuk menggadaikan potensi kemandirian bangsa begitu kuat. Namun dengan ruh kesejarahan, nasionalisme dan konstitusi, bangsa Indonesia memiliki pedoman kehidupan kebangsaan yang mampu membentengi potensi tersebut agar terpelihara dengan baik dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.