Ini ada satu berita mengejutkan dari www.detiknews.com, tentang Dana BLT yang ternyata berasal dari pinjaman luar negeri :
Jakarta - Pernyataan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution di DPR awal pekan lalu bikin kejutan. Usai rapat kerja di DPR (9/6/2009), Anwar mengatakan, program bantuan lansung tunai (BLT), berasal dari pinjaman luar negeri yang bunganya tinggi.
Pernyataan Anwar ini langsung mendapat respon banyak kalangan. Sampai-sampai, esok harinya, Rabu 10 Juni, Tim sukses pasangan SBY-Boediono langsung menggelar jumpa pers di Bravo Media Center (BMC), markas pemenangan SBY-Boediono. Kubu pasangan itu cukup terganggu dengan pernyataan sang ketua BPK. Pasalnya, program itu merupakan besutan SBY yang dibangga-banggakan.
Kabar dana BLT berasal dari utang bukan tidak mungkin bisa membuat citra pasangan SBY-Boediono melorot. Apalagi BLT pada kampanye Pileg yang lalu, sempat menjadi jualan partai bentukan SBY, Partai Demokrat (PD).
Kubu SBY kemudian menunjuk Chatib Basri, pengamat ekonomi yang kini jadi tim ekonomi SBY-Boediono. Pria berkacamata ini kemudian membantah kalau sumber dana BLT berasal dari utang negara. BLT ditegaskannya, berasal dari alokasi subsidi BBM.
Untuk memastikan BLT bukan berasal dari utang negara, Chatib kemudian menyarankan agar mengecek pada daftar Development Policy Loan. Besarnya BLT yang diperoleh dari subsidi BBM itu, terang Chatib, sebesar Rp 14,1 triliun yang diberikan kepada 19,1 juta kepala keluarga miskin.
Namun keterangan Chatib tidak lantas diterima sejumlah kalangan. Direktur Central Banking Crisis (CBC) Deni Danuri mengatakan, pernyataan Chatib soal BLT berasal dari alokasi subsidi BBM hanyalah istilah rekayasa APBN saja.
Sebab kenyataannya, kata Deni, anggaran untuk BLT itu diambil dari APBN, yang merupakan hasil pinjaman luar negeri maupun Surat Utang Negara (SUN). Akibatnya beban APBN menjadi semakin berat.
"BLT adalah salah satu penyebab defisitnya APBN. Karena BLT dibiayai dari pinjaman dan SUN dengan bunga yang tinggi. Sehingga memperberat APBN," jelas Deni.
Ironisnya, utang untuk pembiayaan BLT termasuk utang komersial karena bunganya mencapai 12%-13%. Bukan pinjaman lunak dari lembaga internasional, yang rata-rata bunganya hanya sekitar 4%-6%.
Sekjen Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan juga sepakat dengan Deni. Menurut Yuna, dari hasil pembicaraan Fitra dengan Panitia Anggaran DPR, terungkap kalau dana BLT itu berasal dari utang luar negeri.
"Jadi mau tidak mau negara harus bayar utang dalam jangka waktu panjang dengan bunga yang tidak sedikit. Ini namanya mengatasi masalah dengan memunculkan masalah baru," tegas Yuna.
Yuna berpendapat, seharusnya dana BLT diambil dari anggaran stimulus fiskal yang telah ditetapkan pemerintah untuk mengatasi kebijakan menaikan harga BBM. Tapi kenyataannya dana stimulus yang dikeluarkan pemerintah tahun 2009 saja, justru 80% diambil orang kaya ketimbang rakyat miskin.
Yuna memaparkan, tahun 2009 pemerintah telah mengalokasikan dana Rp 71,3 triliyun untuk stimulus fiskal. Namun mayoritas anggaran justru untuk kepentingan para pemilik modal, seperti penurunan pajak PPh Badan dan Pribadi dan subsidi Pajak barang Mewah dan dunia usaha.
Alhasil, dana untuk rakyat miskin melalui BLT hanya dialokasikan Rp 14,1 triliun. Dari anggaran tersebut yang disalurkan ke 19,1 juta keluarga miskin Rp l3,370 triliun. Adapun sisanya, sebesar Rp 806 miliar dipakai untuk biaya penyaluran, yaitu Departemen Sosial, Bappenas, Kementerian Kesejahteraan Rakyat, PT Pos, dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Sementara pakar ekonomi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Revrisond Baswir, sejatinya BLT itu diadakan pemerintah untuk mengatasi dampak kenaikan harga BBM tahun 2005 silam.
Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM itu diatur dalam Inpres Nomor 12 Tahun 2005, yang dikeluarkan pada 10 September 2005.Tapi kenyataannya, ujar Revrisond, sekalipun BBM sudah mengalami penurunan sebanyak 3 kali pada pertengahan 2008, BLT tetap saja disalurkan.
"Penyaluran BLT di saat pemerintah sudah menurunkan harga BBM jelas melanggar Inpres. Jadi wajar kalau banyak yang mencurigai pembagian BLT punya muatan politik. Terutama untuk mendongkrak citra SBY," pungkas Revrisond.
(ddg/iy)