KEFAMENANU, KOMPAS.com - Kehidupan berat yang harus dilalui para eks pengungsi Timor-timur yang memilih Indonesia sebagai Tanah Air, bukan baru pertama kali terdengar. Meninggalkan Timor Timur untuk kemudian mempertaruhkan nasib mereka di Indonesia pun bukanlah pilihan yang mudah bagi mereka. Tak ada jaminan bahwa hidup mereka akan lebih baik ketika sudah berada di wilayah Republik Indonesia.
Maria Elu misalnya. Janda berusia 49 tahun ini merupakan warga eks pengungsi asal Distrik Oekusi, Timor Leste, yang saat ini menetap di Kampung Pengungsian Naen, Kelurahan Tubuhue, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Sejak tahun 2006 lalu, ketika suaminya Yosep Kono meninggal dunia akibat terserang kanker ganas, Maria harus berjuang seorang diri menghidupi ketujuh anaknya.
Sehari-hari, Maria mendapatkan uang dengan bekerja sebagai tenaga pencuci, atau penggarap kebun. Pascamengungsi pada tahun 1999 silam, keluarga Maria memilih Indonesia sebagai negara mereka, ketimbang kampung asalnya yang kini menjadi negara Timor Leste. Sayang, hingga kini pilihan itu seperti tak berdampak bagi hidup mereka. Bahkan tercetus dari bibir Maria, sebagai warga negara Indonesia ia merasa ditelantarkan.
“Saya sepertinya tidak diperhatikan oleh Pemerintah. Buktinya, bantuan rumah murah dari Kementerian Perumahan Rakyat, saya tidak dikasih. Padahal orang seperti saya dengan kondisi rumah yang memprihatinkan ini seharusnya diprioritaskan,” kata Maria yang ditemui di rumahnya, Kamis (29/2/2012).
Rumah Maria memang hanya beratap ilalang dengan banyak bagian dinding yang reot. Itupun bukan rumah miliknya. Maria dan anak-anaknya menumpang dengan sang ibu, Filomena Kaunan (73). Usia tua menyebabkan Filomena kini pun menjadi tanggungan untuk Maria.
Maria yang hanya tamatan Sekolah Dasar mengaku bahwa panitia pembagian rumah murah di Desanya hanya memberikan bantuan kepada kenalan dan sanak saudara mereka sendiri. Meskipun kondisi rumah mereka tergolong lebih bagus. Maria berharap Kementerian Perumahan Rakyat untuk turun ke lapangan dan memeriksa pemanfaatan bantuan tersebut. Maria merasa ada yang direkayasa, bahkan dimanipulasi.
“Ini saatnya Pemerintah pusat harus turun ke tempat kami untuk memantau semua penggunaan termasuk anggaran agar keadilan bisa ada. Karena bukan hanya saya yang tidak dapat bantuan, tetapi masih banyak lagi,” keluh Maria.
Terkait dengan keluhan Maria tersebut, secara terpisah Lurah Tubuhue, Kristanto Akoit, Kamis (1/3/2012), mengakui, masih banyak warga di kelurahan Tubuhue yang membutuhkan bantuan rumah layak huni. "Kami dari pihak kelurahan sudah mengupayakan untuk mengusulkan hal ini ke Pemerintah, baik di daerah maupun pusat melalui Musrembang maupun secara langsung kepada dinas terkait," jawab Kristanto.
Kristanto mengatakan, pada prinsipnya pembangunan rumah layak huni memang dilakukan secara bertahap. "Masih banyak juga warga masyarakat yang tentunya bukan hanya di Kelurahan Tubuhue membutuhkan bantuan dan diperhatikan Pemerintah," katanya lagi. "Sedangkan, menyangkut bantuan rumah yang telah diterima dan perlu diaudit, saya sebagai Lurah Tubuhue tentunya juga akan mendukung, sehingga tata pemerintahan yang baik dapat terwujud,” sambungnya.