Di samping terkenal sebagai kota industri, kota Gresik Jawa Timur juga di kenal memiliki banyak makanan tradisional seperti pudak, otak-otak, nasi krawu dan Jubung. Jubung sendiri, adalah camilan sejenis jenang yang terbuat dari ketan hitam yang di bungkus dengan daun pinang. Makanan tersebut, sering menjadi hidangan dalam kegiatan masyarakat Gresik termasuk mereka yang merantau ke Manca Negara.
Jalan Sindojoyo Kelurahan Sukodono Kecamatan Kota Gresik, di kenal sebagai sentra makanan tradisional khas Gresik. Tak heran, jika kawasan tersebut tak pernah sepi dari aktifitas jual beli. Sebagian besar warga di kawasan itu banyak menekuni usaha pembuatan makanan tradisional, seperti Pudak, Otak-Otak Bandeng, Nasi Krawu, Ayas dan Jubung.
Keluarga Ahmad Fahri misalnya, menekuni pembuatan berbagai jenis makanan tradisional tersebut, hingga harus mempekerjakan 8 orang karyawan. Salah satu camilan produksinya adalah Jubung
Jubung adalah jajanan mirip jenang terbuat dari ketan hitam yang di taburi wejan. Biasanya Jubung ditempatkan dalam Jubung atau selongsong warna putih kecoklatan yang terbuat dari kulit pohon pinang.
Dari proses awal, pembuatan Jubung sendiri memerlukan waktu sedikitnya 24 jam, mulai dari merendam ketan, mengggiling, memasak hingga membungkusnya. Setiap hari, Fahri menghabiskan 15 kilo gram ketan hitam, 15 kilo gram ketan putih, 60 buah kelapa dan 16 kilo gram gula pasir, yang di masak masing-masing 5 kilo gram campuran ketan pada wajan besar.
Mula-mula, ketan yang sudah di rendam selama 12 jam ini, di giling hingga halus. Saat bersamaan, parutan kelapa di ambil sarinya, kemudian di masak hingga kental. Kemudian, tepung ketan di masukkan wajan sambil di campur sari kelapa yang sudah masak. Untuk memperoleh rasa yang lebih enak, adonan juga di tambah telur ayam.
Proses memasak adonan ini, adalah proses paling lama. Untuk menghasilkan Jubung terbaik, membutuhkan waktu 6 jam hingga adonan benar-benar kental. Tak hean, jika juru masaknya adalah kaum lelaki, karena adonan jubug harus di aduk terus menerus. Fahri sengaja mempertahankan tungku berbahan bakar kayu dan alat memeras kelapa dari kayu ini, karena rasa Jubung yang di hasilkannya, terasa lebih nikmat dan harum.
Setelah kental, adonan Jubung di tambah gula pasir secukupnya. Untuk 5 kilo gram ketan, perlu 2 kilo gram guka pasir. Adonan kemudian di bungkus untuk siap di jual.
Ciri khas bungkusan Jubung adalah daun pinang muda yang di lilit mirip gelas mini. Warga setempat, mengenal daun pinang ini dengan nama, ope. Fahri membeli daun pinang muda dari tuban. Bungkus daun pinang akan menambah citra rasa Jubung sebagai camilan tradisional.
Untuk bahan dasar 30 kilo gram ketan, akan bisa di produksi sedikitnya 1.600 Jubung. Jubung ini selanjutnya di bungkus dalam wadah terbuat dari anyaman daun lontar agar terlihat tradional, dan sebagian, di bungkus dengan dus bermerek agar terlihat lebih modern.
Menurut Fahri, pemasaran Jubungnya, lebih banyak di kawasan Gresik sendiri. Dan kadang-kadang ada juga pesanan dari orang-orang Gresik yang merantau di luar negeri seperti Malaysia dan Singapore. Biasanya, di hari libur dan hari-hari nesar keagamaan, permintaan Jubung bisa naik 100 persen. “Memang pada hari libur, permintaan Jubung naik, kadang sampai kualahan”. Ujar Fahri.
Dengan jumlah produksi sebesar ini, Fahri mengaku memperoleh omset penjualan sebesar 25 juta rupiah setiap bulannya. Namun, kenaikan harga bahan-bahan pokok, seperti ketan dan gula, menyebabkan laba bersihnya semakin menipis.
Bagi Fahri, meski tidak tahu persis asal usul Jubung, namun menjualnya bukan hanya sekedar mencari keuntungan finansial saja. Tapi lebih dari itu, adalah untuk mempertahankan keberadaan makanan khas Gresik di tengah membanjirnya makanan-makanan modern. (86)