UU Pornografi hingga kini masih juga dipermasalahkan oleh sebagian kalangan yang mengaku sebagai pembela hak-hak wanita, pekerja seni atau orang-orang lainnya yang mengaku humanis.
Mereka beranggapan isi dari undang-undang tersebut dapat menggangu hak-hak perempuan, kebebasan berekspresi dan mengungkapkan karya seni serta dapat mengganggu tradisi dan budaya masyarakat tertentu di Indonesia. Untuk itu kemudian mereka terus menolak dan meminta agar isi UU tersebut harus disandarkan pada tradisi dan budaya masyarakat Indonesia yang plural.
Umat Islam adalah yang paling ramai mendukung UU tersebut karena UU tersebut dianggap telah cukup memenuhi tuntutan ajaran Islam, tetapi kemudian umat Islam diminta untuk mempertimbanglkan nilai budaya yang plural di Indonesia sebagai landasan dari UU tersebut, bahkan Fawaizul Umam dalam tulisannya “Mengarifi Batas Aurat Perempuan” (dalam Kompas) mengusulkan kepada umat Islam agar mengambil nilai sosial budaya sebagai standar dalam mendefinisikan pornografi/pornoaksi.
Bagi umat Islam untuk menentukan yang manakah yang porno dan manakah yang tidak porno sesungguhnya standarnya sudah jelas, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah. Akan tetapi, standar itu kemudian dikacaukan dengan standar-standar yang lain yang dikemukakan bahkan oleh orang Islam sendiri—dengan segala argumentasinya. Untuk pembahasan mengenai standar pornografi lihat tulisan saya sebelumnya Menyoal standar dalam menilai Pornografi.
Pornografi dan pornoaksi dalam Islam berhubungan dengan konsep aurat, yakni bagian tubuh manusia yang harus ditutup serta dijaga karena perintah Allah SWT. Aurat dianggap sebagai aib, oleh karena itu orang yang mempertontonkan auratnya berdosa kepada Allah. Hanya saja, bagian tubuh manakah yang menjadi bagian aurat, yang kalau dipertontonkan itu menyebabkan dosa, inilah yang dipersoalkan oleh Fawaizul Umam (dalam tulisan yang disebutkan di atas). Ia mengungkapkan sejumlah fakta yang menunjukkan adanya ketidaksepahaman ulama fikih dalam menentukan bagian manakah yang menjadi aurat perempuan. Dari sini ia berpendapat bahwa hal tersebut karena ulama fikih dipengaruhi oleh situasi ruang dan waktu dalam melakukan istinbat hukum (pengambilan hukum), sehingga pandangannya menjadi relatif terhadap situasi ruang dan waktu. Maka, penulis tersebut kemudian menyimpulkan bahwa masalah aurat tersebut hanyalah masalah sosial budaya atau hanya menyangkut etika atau bahkan estetika, sehingga dengan demikian ajaran Islam tidak diperlukan lagi sebagai standar baik dan buruk. Sebagai gantinya penulis tersebut mengusulkan nilai sosial budaya sebagai landasan dalam memandang masalah pornografi/pornoaksi.
Ia menulis, “Dengan begitu, tidak ada batasan aurat yang sama untuk perempuan. Itu membuktikan betapa teks terkait tidak secara jelas membatasi aurat. Para ulama menafsir dengan rangka paradigmatik masing-masing yang berkait erat dengan situasi ruang dan waktu mereka”. Ada tiga hal yang perlu dijernihkan di sini menyangkut “tidak ada batasan aurat yang sama” dan “teks terkait tidak secara jelas membatasi aurat”, serta “berkait erat dengan situasi ruang dan waktu mereka”.
Memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama ahli fikih mengenai batasan aurat, namun mengatakan tidak ada batasan aurat yang sama adalah kurang tepat. Ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa aurat perempuan yang berhadapan dengan orang yang bukan mahram (orang yang haram dikawini) adalah seluruh tubuhnya, tidak terkecuali muka dan telapak tangan, bahkan Imam Ahmad ibnu Hanbal menyatakan termasuk juga kukunya. Sedangkan Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, menyatakan aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Dari sini bisa dikatakan dari keempat madzhab tidaklah terjadi perbedaan pendapat, kecuali menyangkut muka dan telapak tangan saja (lihat Tafsir Ayat Ahkam as-Shabun (terj.) Jil. 2: 243). Jadi tidak ada perbedaan yang begitu besar. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa wajah, kedua telapak tangan dan kaki tidak termasuk aurat adalah pandangan dari Sufyan as-Sauri, al-Muzanni, sebagian ulama Hanafiah serta Syiah Imamiah (lihat Ensiklopedi Hukum Islam: 145) adalah pendapat yang tidak populer di kalangan ahli fikih.
Kemudian pernyataan penulis: “teks terkait tidak secara jelas membatasi aurat”, adalah pernyataan yang tidak tepat. Apa yang disebutkan dalam Surah an-Nur: 31 sudah sangat jelas menyebutkan bagian mana yang menjadi aurat perempuan, ditambah hadits-hadits Nabi yang banyak yang menyebutkan bagian aurat, serta pendapat ulama madzhab dalam kitab-kitab mereka, maka, sudah cukup untuk tidak menyatakan bahwa tidak ada teks terkait yang membatasi aurat. Salah satu di antara hadits tersebut yang dengan jelas menyebut bagian aurat perempuan adalah, “Bahwa sesungguhnya Asma’ binti Abu Bakar masuk ke (rumah) Rasulullah saw. sedang ia memakai pakaian yang tipis kemudian Nabi saw. berpaling darinya seraya bersabda: ‘Hai Asma’ sesungguhnya perempuan itu apabila telah baligh tidak boleh terlihat darinya melainkan ini dan ini’. Nabi saw, sambil menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud).
Kemudian benarkah perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih menyangkut aurat disebabkan oleh adanya paradigma masing-masing yang berkait erat dengan situasi ruang dan waktu mereka. Sayangnya dugaan penulis tersebut tidak didukung oleh fakta bahwa para imam ahli fikih tersebut memang memiliki metode pengambilan hukum (istinbat hukum) berdasarkan situasi ruang dan waktu. Jadi, para imam ahli fikih tersebut berbeda pendapat bukanlah karena situasi ruang dan waktu, akan tetapi karena dalil yang dipegang/diambil oleh masing-masing imam berbeda.
Ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali dalam menetapkan aurat perempuan berpegang pada berbagai hadits, di antaranya: “Aku pernah bertanya pada Nabi tentang pandangan tiba-tiba, lalu ia manjawab: ‘Palingkanlah pandanganmu (berikutnya)’.” (HR. Ahmad dan Muslim). Juga, sabda Nabi kepada Ali: “Hai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan (pertama yang tiba-tiba itu) dengan pandangan (berikutnya), karena yang pertama itu boleh sedang yang berikutnya itu tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dari dalil inilah kenapa wajah perempuan termasuk aurat menurut pendapat ini.
Sedangkan ulama madzhab Maliki dan Hanafi yang menyatakan bahwa muka dan telapak tengan bukanlah aurat berdasarkan beberapa dalil, salah satunya adalah hadits yang pernah di sebut di atas mengenai Asma’ binti Abu Bakar.
Dengan fakta-fakta yang dikemukakan di atas, maka pernyataan penulis: “Refleksi para ahli fikih, misalnya, hanya menegaskan kewajiban menutup aurat; tidak merinci bagian tubuh mana yang mesti ditutup …”, tidak dapat dipertahankan lagi. Dan oleh karena itu dugaan penulis bahwa aurat perempuan itu relatif mengikuti ruang dan waktu adalah tidak tepat. Di mana pun muslimah berada dan kapan pun waktunya, ia tetap terikat aturan mengenai aurat yang telah jelas batasnya, apakah batas aurat mengikuti pendapat madzhab Syafi’i dan Hanbali ataukah pendapat madzhab Maliki dan Hanafi. Aurat perempuan bukanlah soal etika apalagi estetika akan tetapi benar-benar merupakan ajaran agama Islam yang harus dilaksanakan oleh para pemeluknya dan dipahami sesuai nilai Islam, tidak dengan nilai sosial budaya, ataupun yang lainnya. Wallahu a’lam bish-shawab.