Tulus mengatakan bahwa era pasar bebas sudah diberlakukan di Indonesia, terbukti dengan banyaknya mainan asal Cina atau merek lain beredar di pasaran Indonesia, terutama Jakarta.
"Namun pemerintah belum membuat satu standar atau Standar Nasional Indonesia (SNI) terhadap mainan ini," kata Tulus.
Kendati pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan konsumen berhak mengetahui dengan jelas dan benar kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang, pemerintah, menurut Tulus harus memberikan pengawasan terhadap pasar untuk menjalankan fungsi kontrol.
Tulus meminta Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian di Indonesia untuk bersinergi membuat peraturan dan melakukan pengawasan terhadap mainan anak yang beredar di pasar Indonesia.
"Kalau pun ada (regulasi), pemerintah harus memperkuat pengawasan pasar, karena banyak mainan yang mengandung zat-zat berbahaya dan mendesak perlu adanya pengawasan terhadap mainan edukatif anak ini karena sedang menjadi tren yang potensial," kata Tulus.
Menurut dia, angka kelahiran bayi yang mencapai sekitar 5 juta jiwa per tahunnya menjadi daya tarik yang menggiurkan bagi pelaku pasar untuk menjual mainan edukatif anak atau pun mainan yang tidak edukatif sekalipun seperti mobil-mobilan dan "action figure".
"Konsumen juga harus lebih jeli dan kritis, jangan hanya melihat warna yang menarik, harga yang mahal, atau tempat pembelian yang keren namun ternyata mainan tersebut membahayakan buah hati," jelas Tulus.
Menurut dia konsumen bisa mengetahui kandungan mainan edukasi melalui tulisan keterangan di label yang tertera pada kemasan mainan yang menjelaskan kandungan bahan mainan, syarat usia anak, dan cara penggunaan mainan.
sumber: sehatnews.com