DETIK DOT COM adalah tonggak kelahiran jurnalisme baru itu–sebulan usai penguasa Orde Baru dijungkalkan di tahun 1998. Di sana, nama Budiono terpacak.
Sosok ini lahir 1 Oktober 1960 di Semarang, tapi besar di Bojonegoro. Lantas itu nama pena yang selalu berada di belakang namanya adalah “Budiono Bojonegoro”. Itu usulan teman-temannya sewaktu kuliah di Yogyakarta. Untuk pembeda, katanya. Oleh karena nama “Budiono” adalah nama yang sungguh sangat “pasaran”.
Bukan kebetulan belaka bila Budiono pernah memilih nama belakangnya dengan “Bojonegoro”. Sebab kita tahu bahwa salah satu pemula pers Indonesia, Tirto Adhi Soerjo, juga besar di Bojonegoro. Dan kita tahu kedua tokoh pers Bojonegoro ini punya andil dalam memperkenalkan pers–tak hanya sebagai instrumen komunikasi, tapi juga menangkap situasi dan semangat zaman.
Kepeloporan Tirto di awal abad 20 adalah bagaimana mengelola pers dengan cara baru, baik manajemen, tampilan isi, dan sikapnya di tengah kekuasaan Hindia yang kukuh.
Sementara Budiono di akhir abad 20 dan jelang alaf ketiga, lewat DETIK DOT COM, bukan saja memperkenalkan internet sebagai kebutuhan baru bagi masyarakat baru, tapi juga memperkenalkan tradisi baru dalam dunia jurnalistik bahwa peristiwa adalah juga waktu. Dan kecepatan mengikuti ritme waktu adalah jantung informasi bagi masyarakat baru ini.

Jauh sebelum DETIK DOT COM, Budiono sudah melalangbuana di dunia pers. Namun tak selalu berjalan mulus. Semasa SMP di Santa Paulus Bojonegoro, ia sudah menyimpan rapi cita-cita menjadi jurnalis dengan membuat mading sekolah.
Agar bisa belajar jadi jurnalis “beneran”, masuklah Budiono ke Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) UGM. Sayang sungguh sayang, ia hanya meraih predikat “jebolan” UGM (jebol=lulus tanpa toga alias tidak lulus beneran).
Lalu Budiono banting stir kuliah di Akademi Keuangan dan Perbankan Yogyakarta. Lulus. Tapi ilmu akademinya untuk sementara terbenam di pabrik tembakau di Bojonegoro. Hingga muncul sepotong iklan lowongan kerja jadi jurnalis di Surabaya Post untuk daerah Bojonegoro.

Lama-lama Budiono capek juga. Bahkan, “kutukan” bapaknya, yakni Darsono, yang meragukan profesinya sebagai jurnalis, pelan-pelan bangkit lagi. Ia pun membuka toko kelontong di Parung, Bogor. Ketika putus asa mulai menggerogotinya, ia pun berkenalan dengan dunia internet. Awalnya bukan membuat situs berita, melainkan menerima order pembuatan situs perusahaan. Dan klien pertama adalah Kompas.
Peluang baru jurnalisme pun ia tangkap dan disesapinya dalam-dalam setelah capek dan kapok bikin media pers yang dicetak. Ia ingin ada dunia jurnalistik yang tak dibebani hantu deadline. Bersama Yayan Sopyan ia pun merintis berita online yang realtime: berita dari detik ke detik. Situs berita itu bernama DETIK DOT COM dengan perusahaan processor terkemuka di dunia, yakni Intel, menjadi pengiklan pertama yang berani bayar Rp 6 juta.
Awal yang tak mudah. Tapi dengan kemampuan menangkap peluang, keberanian memilih keyakinan jurnalisme terbarukan, dan etos kerja yang tak pernah padam, DETIK DOT COM kini menjadi situs berita online terbesar di Indonesia mendampingi tumbuhnya generasi baru di alaf ketiga.
GO |