Itu potongan lagu ”Neraka Jahanam” yang dibawakan dua jawara rock, Duo Kribo:Ahmad Albar dan Ucok ”AKA” Harahap pada 1978. Lagu-lagu rock era 1970-1980-an memang berkutat pada imaji-imaji seputar setan, neraka, badai, dan hujan. Gambaran serba keras, seram, dan angker itu lahir dari impresi auditif atas musik rock, terutama dari distorsi gitar yang keras-keras kasar, meraung-meraung, serta dentuman drum.
Selain lagu ”Neraka Jahanam”, muncul juga lagu-lagu, seperti ”Selimut Neraka” (SAS), ”Jarum Neraka” dan ”Tangan-Tangan Setan (Nicky Astria), ”Setan Ketawa” (God Bless), ”Preman Metropolitan,” dan ”Air Api”(Ikang Fawzi), serta ”Hujan Badai” (Panbers). Atau simak lagu rock versi Koes Plus seperti ”Hujan Angin,” ”Kelelawar,” ”Kala-kala Hitam,” dan ”Hanya Pusaramu.”
Ian Antono, gitaris God Bless, mengakui impresi auditif dari musik rock, terutama bunyi gitar yang keras-keras distortif dan gemuruh drum, merangsang gagasan untuk melahirkan lirik lagu bercitra keras dan seram.
”Lirik disesuaikan dengan warna distorsi, suara gitar meraung-raung, drum yang full power, dan kebingaran musik. Kalau dibikin lagu, kita gambarkan setan itu begitu,” kata Ian yang bersama God Bless tampil dalam perhelatan musik Java Rockin Land, pekan ini.
Benny Panjaitan dari band Panbers menulis lagu ”Hujan Badai” karena menurut dia musik rock memang harus keras. Oleh karena itu, tema-tema lagu yang menggambarkan suasana keras dianggap sesuai jika dibawakan dalam kemasan musik rock. ”Hujan, apalagi badai itu kan keras. Itu cocok untuk tema lagu rock,” kata Benny.
Mungkin yang paling jujur dari semua lagu tersebut adalah Benyamin S. Dia secara apa adanya dan dengan gaya kocak menerjemahkan kesan meledak-ledak dari musik rock dalam lagu ”Kompor Meleduk.” Begini lirik awalnya: ”Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk/ RumΓ©h anΓ© kebakaran garΓ©-garΓ© kompor mleduk.”
Lebih polos lagi, Benyamin ”mentransformasikan” gaya menyanyi penyanyi rock yang pecicilan dan penuh teriak itu dalam lagu ”Kesurupan.” Ia menirukan gaya orang kesurupan dengan gaya banyolan khasnya, ”Hei setan mana ini? Setan Gundul.” Di tangan Benyamin, rock menjadi komedi. Lagu rock digunakan untuk main-main dengan semangat kerakyatan.
Meniru dan identitas
Apa boleh buat, rock datang ke Indonesia sebagai suara. Bukan sebagai sebuah gerakan budaya kaum muda seperti yang terjadi di Barat, tanah asalnya. Yang kemudian tertangkap di sini adalah aspek suara yang ingar. Bernyanyi rock dalam bahasa Indonesia dirasa oleh seniman Melayu sebagai perkara yang tidak mudah.
”Penataan nadanya susah karena kita terbiasa menggunakan bahasa Inggris. Kemudian kita harus menggunakan bahasa Indonesia. Mengucapkan ’aku cinta padamu’ saja rasanya juga aneh,” kata Ian Antono mengenang masa ketika harus membuat rock dalam bahasa Indonesia. Belakangan Ian produktif menulis lagu rock, bekerja sama dengan penulis lirik.
Pengamat dan praktisi musik, Remy Sylado, bisa memahami kesulitan musisi Indonesia tersebut. Salah satu faktor penyebabnya adalah panjangnya suku kata dalam bahasa Indonesia. ”Untuk mengatakan I love you saja dari tiga suku kata perlu tujuh suku kata menjadi a-ku cin-ta pa-da-mu,” tuturnya.
Proses mengindonesiakan rock memang melewati tahapan meniru.
Arthur Kaunang, pemetik bas band AKA dan kemudian membentuk SAS bersama personel AKA Sunata Tanjung dan Sjech Abidin, itu mengakui proses meniru merupakan sesuatu yang wajar. AKA dan SAS, misalnya, banyak membawakan lagu Jimi Hendrix, James Brown, Black Sabbath, Grand Funk Railroad, dan ELP.
”Kami saat itu masih sebagai pemain (lagu orang). Tapi, itu menjadi dasar untuk menjadikan rock sebagai tuan rumah di negeri sendiri,” kata Arthur.
Ian Antono juga mengakui melewati proses meniru sebagai semacam tahapan belajar untuk akhirnya mendapatkan identitas personal dan rasa percaya diri . ”Aransemen (band yang ditiru) itu melekat di kepala. Menghilangkannya yang susah. Sampai ada not-not Genesis yang masih terasa,” kata Ian jujur.
Dalam proses tersebut, penyanyi Ikang Fawzi memilih Rod Stewart yang bersuara serak. Di panggung ia sering membawakan lagu Rod, seperti ”I Don't Wanna Talk About It.” Menurut Ikang, banyak orang yang suka ketika ia membawakan lagu-lagu penyanyi Rod. “Dulu saya nyanyi berbagai lagu, tapi kalau pas membawakan lagu rock, apalagi dari Rod Stewart, responsnya meriah, jadilah saya sering nyanyi lagu-lagunya,” kata Ikang.
Pemilihan itu menurut Ikang tidak hanya berdasarkan pada kekagumannya pada sang idola, tetapi tak lepas dari warna suaranya. Ia memang mengalami kelainan epiglottis yang menyebabkan suaranya tak bening atau serak. Jadilah Ikang sebagai Rod Stewart ”Melayu” dengan serak-seraknya itu.
Ganyang koruptor
Begitu juga Slank, band yang muncul pada 1983 atau setelah era AKA dan God Bless. Sebelum mendirikan Slank, Bimbim bergabung dalam Cikini Stone Complex (CSC) yang khusus menyanyikan lagu-lagu Rolling Stones. ”Sejak SMP saya sudah nge-band, dan nyanyi lagu-lagu Rolling Stones. Masanya memang seperti itu. Kalau main musik bisa sama persis dengan band Barat yang ditiru, kita sudah hebat,” ujar Bimbim.
Slank pada awal berdirinya masih membawakan lagu-lagu Barat ketika manggung, tapi porsinya hanya 50 persen. ”Kami nyanyi 50 persen lagu-lagunya Rolling Stones, Bon Jovi, Van Hallen. Sisanya 50 persen nyanyi lagu sendiri,” ujarnya.
Belakangan Slank merasakan lagu Barat sudah tidak cukup lagi untuk mengekspresikan diri. Pada saat yang sama, Slank punya kebutuhan untuk berekspresi sendiri melalui lagu.
”Gue pengen teriak tapi enggak bisa kalau pakai lagu Barat. Akhirnya gue teriak pakai lagu-lagu sendiri. Kita teriak protes pada orangtua. Kita juga mulai bicara soal love, peace, dan youth,” ujar Bimbim.
Slank juga menggunakan musik rock untuk untuk menyuarakan sikap antinarkoba, antikorupsi, serta antiperusakan hutan dan lingkungan. Mereka menyerukan perdamaian, solidaritas sosial, saling menghargai, lingkungan dan alam, serta persaudaraan. Dengan rock, Slank mengutuk para koruptor lewat lagu
”Bobrokisasi borokisme”
Dibagi rata semuanya diam
Rame-rame kita korupsi berjamaah
Bobrokisasi borokisme