Rosita dituduh melakukan pembunuhan terhadap teman sesama pekerja rumah tangga dan diperiksa tanpa diberi makan ditambah pemukulan selama lima hari di kantor kepolisian setempat.
Di Fujariah, Rosita bekerja kepada sepasang suami istri yang memiliki 8 anak perempuan, 2 anak laki-laki, dan 7 mobil. Kediaman majikan terdiri dari beberapa bangunan terpisah yang berfungsi sebagai rumah majikan dan anak-anaknya, kamar PRT, dapur, kamar mandi, garasi dan majelis (ruang tamu pria). Semua itu diurus oleh Rosita dan seorang perempuan Indonesia lainnya, sebut saja X. Rosita tidak ingin mempublikasikan temannya yang sudah meninggal itu.
Ibu satu anak itu lalu menceritakan kejadian yang menimpanya di kantor Solidaritas Perempuan, Jakarta, Kamis (23/6/2011). "Kejadiannya malam Rabu (Oktober 2009), saya saat itu akan tidur sekitar pukul 12 malam, namun teman sekamar saya meminta agar pintu kamar tidak ditutup karena ingin salat tahajud," kata Rosita.
Tiba-tiba ia terbangun karena mendengar teriakan temannya. Saat itu, ia melihat seorang pria tinggi sedang melonggarkan bohlam lampu hingga padam. Lampu di luar kamar pun sudah dimatikan.
"Saya lalu disekap dan diancam akan dibunuh. Saya pun diam tidak melawan," kata Rosita. Pria itu kemudian pergi. Rosita kemudian menghampiri temannya dan memanggilnya tetapi tidak menjawab. "Saya takut," ujarnya.
Rosita kemudian bergegas menemui majikannya untuk melaporkan informasi itu. Majikan itupun menghubungi polisi dan meminta Rosita membukakan pintu untuk petugas yang akan memeriksa lokasi kejadian. Polisi kemudian membawa Rosita ke rumah sakit. Saat itulah Rosita tahu bahwa temannya meninggal dunia.
"Saya lalu ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Tuduhannya melakukan pembunuhan dengan ancaman hukuman pancung," kata Rosita
Selama di penjara, Rosita tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan dunia luar dan keluarganya. Rosita pun mencari akal agar terbebas dari kasusnya. Rosita lalu memberikan keterangan bahwa dia berpacaran dengan anak majikan yang masih berumur 15 tahun. Polisi kemudian percaya dan menciduk anak majikan itu. Dari keterangan itu, polisi lalu dapat menangkap dua pelaku lainnya. "Diduga pelakunya anak majikan, dia diduga mau memerkosa teman saya," ujar Rosita.
Namun nasib Rosita belum membaik, dia malah dituduh dengan pasal berlapis yakni pembunuhan dan berhubungan dengan anak majikan. Rosita kemudian ditahan selama 20 bulan di Penjara Fujariah. Dia ditaruh di ruang sel berisi 10 orang yang juga kebayakan berasal dari Indonesia. "Saya hanya dikasih selimut tanpa kasur," imbuh warga Desa Cinta Langgeng Kecamatan Tegal Waru Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Baru setelah setahun Rosita di tahan, dan menjalani tiga sidang, Pemerintah Indonesia mengetahui kasus Rosita. Selama tiga kali sidang, Rosita sama sekali tidak didampingi, baik oleh pengacara, penerjemah, maupun staff perwakilan pemerintah RI. "Setelah itu saya lalu diberi tahu bahwa ada pengacara yang mendampingi. Saya disediakan penerjemah juga tetapi tidak bisa berkomunikasi karena dia laki-laki jadi tidak bisa berkomunikasi. Pengacara juga tidak pernah menanyakan kondisi saya," katanya.
Rosita juga akhirnya dapat berkomunikasi dengan suami serta keluarga temannya yang tewas tersebut. Dari keluarga temannya, Rosita mendapat surat bahwa dirinya dinyatakan tidak terlibat pembunhan tersebut. "Akhirnya saya lolos dari hukuman pancung tetapi kasus hubungan dengan anak majikan masih berlangsung," tuturnya.
Entah kenapa, pada tanggal 11 Juni 2011, tiba-tiba Rosita dilepaskan dari tahanan. Polisi memberikannya tiket, dan mengantarkan ke bandara, tanpa melalui perwakilan pemerintah RI.
"Wakil kapten mengantarkan saya ke depan gerbang bandara lalu memberi tiket. Dia sempat menawarkan pekerjaan sebagai pembantu, tapi saya menolak," katanya.
Rosita akhirnya sampai di Jakarta pada tanggal 12 Juni 2011. Dia lalu menghubungi keluarganya
dan langsung kembali ke Karawang. "Saya masih trauma bila di sana," tukasnya.