Hasil pemetaan dan penelusuran jejak situs dan prasasti Airlangga di Lamongan tersebut dibuka Bupati Fadeli. Hadir sebagai pemateri adalah Agus Aris Munandar dan Ninie Susanti, keduanya dari Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Juga Ketua Lembaga Studi dan Advokasi untuk Pembaruan Sosial (LSAPS) Supriyo.
Supriyo dalam kesimpulannya menyampaikan banyak jejak arkeologi berupa prasasti tersebar di Lamongan. Sehingga Lamongan berpotensi untuk menjadi rujukan utama penggalian sejarah Kerajaan Airlangga. “Kemungkinan besar mampu membuktikan sebagai salah satu ibu kota Kerajaan Airlangga. Itu berdasarkan fakta arkeologis yang ada. Yakni Prasasti Pamwatan tahun 1042 masehi dan Prasasti Terep tahun 1032 masehi, “ ungkap dia.
Disebutkan olehnya, dari hasil penelusuran LSAPS di lapangan, terdapat 30 prasasti di Lamongan. Banyak prasasti itu sekarang hilang. Diantaranya Prasasti Pamwatan, Garung dan Prasasti Candisari. Ditambah lagi sebagian besar prasasti yang ada dalam kondisi memprihatinkan. “Sehingga Pemda diharapkan pro aktif melakukan perlindungan benda cagar budaya sebelum sejarah besar Lamongan lenyap tinggal cerita, “ katanya.
Lebih lanjut, Agus dan Ninie sepakat bahwa Lamongan adalah lokasi salah satu ibu kota Kerajaan Airlangga. Sejumlah fakta memang menunjukkan Keraton Airlangga berpindah-pindah karena diperkirakan kondisi politiknya yang belum stabil. Sampai saat ini, Keraton Airlangga baik di Wwatan Mas, Kahuripan dan Dahanapura belum dapat diketahui lokasinya secara pasti.
Agus cenderung sepakat dengan asumsi bahwa keraton pertama Airlangga, yaitu Wwatan Mas terdapat di wilayah Lamongan. Sementara keratin terakhirnya, Dahanapura disamakan dengan Daha, ibu kota wilayah Panjalu (saat ini Kediri). “Fakta yang ada tipis untuk menunjukkan bahwa Wwatan Mas berlokasi di utara Gunung Penanggungan. Justru dari Prasasti Wotan yang ada di Dusun Wotan/Lamongan, kemungkinan besar Wwatan Mas Airlangga berada di Lamongan. Banyak laporan yang menyebutkan serinngkali ditemukan artefak emas, arca, kertas emas tipis dan perhiasan di sekitar Dusun Wotan, “ ungkap dia.
Sementara Ninie justru menyebutkan konsentrasi temuan prasasti setelah 964 saka (Prasasti Pamwatan) yang isinya menyiratkan keraton baru Airlangga, Dahana Pura, berada di wilayah Kabupaten Lamongan. Yaitu terbanyak ditemukan di wilayah Kecamatan Sambeng dan Ngimbang. Berdasar analisis distribusional prasasti, dia percaya Kerajaan Airlangga mula-mula berada di sekitar Surabaya, kemudian berpindah ke wilayah lebih pedalaman di daerah aliran Sungai Brantas dan Bengawan Solo akibat serangan musuh.
“Sebagian besar prasasti di Lamongan ditemukan dalam kondisi sudah sangat aus, sehingga sebagian prasasti batu yang ada di Lamongan tidak dapat diketahui kronologi waktunya. Namun beradasar analisis paleografi, aksaranya diketahui dari masa pemerintahan Raja Airlangga, “ papar dia.
Fakta lain di paparkan Supriyo terkait dengan kelahiran Lamongan. Setelah kemunduran Majapahit yang juga berimbas pada kemunduran Perdikan Biluluk di Lamongan Selatan, wilayah utara Lamongan justru berkembang dengan lahirnya perdikan-perdikan Islam. Seperti Perdikan Sedayu, Drajat dan Sedang Dhuwur.
Perdikan Drajat pada tahun 1475 atau 1553 M dipimpin oleh Sunan Drajat, keturuna Sunan Ampel. Sementara Perdikan Sendang Dhuwur pada tahun 1483/1561 M dipimpin Sunan Sendang atau Raden Rahmat.
Kemudian di periode yang sama, di wilayah tengah, di Tumenggungan yang sekarang masuk wilayah Kota Lamongan berkembang pemerintahan di bawah kendali Rangga Hadi dengan gelar Tumenggung Surajaya tahun 1569-1607 M. Wilayah ini masuk kendali Kasultanan Giri. Pengangkatan Rangga Hadi inilah yang sampai sekarang dijadikan dasar penentuan Hari Jadi Lamongan.