Seni tenun menenun sejak dulu dilakukan oleh nenek moyang kita. Seni kerajinan tenun ikat yang berwarna warni dan kaya akan motif hias, dikerjakan para perajin hampir di seluruh daerah di Indonesia yang setiap tenunannya berciri khas sesuai dengan budaya setempat.
Biasanya, kain tenun dibuat untuk kelengkapan upacara adat seperti dalam ritual merayakan kelahiran anak, perkawinan dan kematian. Selain itu juga dipakai sebagai kain busana adat. Kini, selain untuk fungsi tersebut, kain tenun juga dapat digunakan sebagai penunjang interior.
Di Kabupaten Lamongan terdapat sentra industri tenun ikat, tepatnya di desa Parengan kecamatan Maduran yang sudah merambah hingga pasar timur tengah. Di desa ini, terdapat sedikitnya 30 orang pengrajin tenun ikat yang rata-rata telah menekuini usahanya secara turun temurun.
Salah satunya adalah Miftahul Khoiri yang telah mewarisi usaha orang tuanta sejak tahun 1978. Di bantu 150 orang, Miftah mampu memproduksi 2600 lembar kain tenun ikat perbulannya dengan omset rata-rata mencapai 250 juta.
Pembuatan kain tenun ikat ini tidak mengandalkan keahlian khsusus. Bermula bahan dasar benang yang telah diberi bermacam-macam warna, sesuai dengan mode pasaran. Kemudian benang yang telah diberi warna di pintal menggunakan alat yang di sebut morosepil. Proses pemintalan inipun hanya memerlukan waktu 10 menit untuk sebuah kain berukuran panjang 2,5 meter.
Benang yang telah di pintal kemudian di sekir menggunakan mihani untuk memperoleh benang dengan hasil yang lebih halus.
Tak membutuhkan banyak proses, pembauatan kain tenun ikat ini kemudian di tenun menggunakan peralatan tenun tradisional. Dengan peralatan ini, model dan corak kain mulai di tentukan untuk memperoleh kombinasi warna yang berkualitas.
Menurut Miftahul Khoiri, pembuatan kain dengan peralatan tradisonal menciptakan hasil yang maksimal. Bahkan, ia rela menggunakan benang khusus yang di impor dari Cina dan India yang di namakan benang Mesraiz. Keistimewaan dari tenun ikat ini adalah memerlukan ikatan pada benang, di bagian proses dasar, sehingga di namakan tenun ikat. “Penggunaan alat tradisional memang tetap di pertahankan agar cirri khasnya tidak hilang”. Ujarnya.
Kain tenun ikat berukuran 2,5 meter, di jual dengan harga bervariasi. Mulai dari harga 100 ribu rupiah hingga 600 ribu rupiah. Setiap harinya, Miftahul Khoiri mampu memproduksi 90 kain tenun ikat, dengan omset perbulan sekitar 150 juta.
Produksi kain tenun ikat, saat ini mampu merambah pasar dunia hingga negara timur tengah seperti irak, iran, arab saudi, kairo hingga negara tetangga yaitu malaysia.
Nyaris Punah
Di tengah sukses menembus pasar internasional, saat ini, kerajinan tenun ikat sedang menghadapi persoalan regenerasi. Para karyawan yang ada, rata-rata telah berusia lanjut. Sementara kaum muda desa, kurang berminat dengan kerajinan ini. Mereka lebih memilih kerja sebagai buruh pabrik atau tenaga kerja indonesia di luar negeri.
Dulu, hampir semua penduduk desa ini berprofesi sebagai pengrajin tenun ikat. Seiring perjalanan waktu, berangsur-angsur usaha mereka pudar dan kini hanya tinggal 30 orang pengrajin saja. Penurunan usaha yang paling drastis terjadi pada tahun 1990 saat perang teluk pertama berlangsung, karena pengiriman barang tersendat. Hingga banyak pengrajin gulung tikar.
Dengan demikian, jika pemerintah tidak segera turun tangan mengatasinya, kelangsungan seni batik tradisional Lamongan ini, tengah berada dalam ancaman kepunahan. (86)