"Soal Anas, saya sendiri juga bingung, kenapa sampai sekarang tidak terlibat. Apakah ini sengaja untuk memperlambat. Kalau terus begini, Demokrat habis 2014, habis!," ujar Tjipta dalam diskusi "Membongkar Benang Kusut Korupsi Wisma Atlit, Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) dan Banggar" di Bumbu Desa, Cikini, Jakarta, Ahad (19/2).
Apalagi, lanjut Tjipta, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai incumbent kerap mengeluarkan kebijakan yang cukup popular seperti halnya tunjangan langsung. "Kalau kasus Nazaruddin begini, tak kunjung tuntas, rusak Demokrat. Apalagi nanti makin banyak yang terserempat, makin terpuruk Demokrat. Maka kemungkinan besar makin anjlok ratingnya."
Lebih lanjut menanggapi soal lemahnya penegakan hukum di Indonesia, mestinya menurut Tjipta, Indonesia dapat belajar dari RRC. Satu di antaranya bisa lebih tegas menghukum koruptor. Sehingga akan membawa efek jera bagi pelaku korupsi di Tanah Air.
"Di Indonesia koruptor hanya 1/4 yang menjalani hukuman. Di dunia ga ada selain di sini. Di sini lama prosesnya. Kalau mau balajar dari RRC, proses peradilan cepat langsung dihukum berat. Jadi akibatnya orang mau korupsi dengkulnya gemeteran," ujar Tjipta dengan nada bergurau.
Soal sikap KPK dalam menindak kasus korupsi yang terkesan tak tegas, Tjipta juga menilai KPK masih menjadi misteri dalam menjalankan komitmen memberantas korupsi di Indonesia. "KPK apakah berisi malaikat-malaikat, nyatanya betul ada penyidik yang dihukum. Tapi KPK ya masih misterius," imbuh Tjipta.
sumber: liputan6.com