SESUNGGUHNYA terdapat dalam diri Rasulullah saw suri teladan yang baik bagi kamu (yaitu) bagi siapa yang mengharap (rahmat) Allah dan (kebahagiaan) hari akhir dan banyak menyebut Allah (QS. 33:21).
Ayat ini ditujukan kepada seluruh manusia. Ini berarti bahwa semua orang dapat menemukan pada diri Nabi Muhammad saw “keteladanan” yang dapat mengantar mereka memperoleh rahmat Ilahi serta kebahagiaan ukhrawi.
Abbas al-Aqqad dalam bukunya Abqariyyat Muhammad mengemukakan bahwa ada empat tipe dan kecenderungan manusia, yaitu ilmuwan, seniman, pekerja, dan yang tekun beribadah. Pada umumnya, bila kepribadiannya telah menonjol dalam satu aspek atau salah satu kecenderungan ini, biasanya manusia tidak lagi menonjol dalam tipe dan kecenderungan yang lain. Kalaupun yang lain ada, peringkatnya jauh di bawah penonjolan yang pertama itu. Ini berbeda dengan Nabi Muhammad saw yang mencapai puncak dalam keempat kecenderungan manusia tersebut. Dari sini, wajar jika beliau dijadikan Allah sebagai teladan bagi seluruh manusia.
Prestasi yang dicapai Nabi itu merupakan berkat penanganan Allah secara langsung terhadap beliau. “Allah mendidikku, maka sungguh baik pendidikan (terhadap)ku”. Mahaguru beliau adalah malaikat Jibril dan materi pengajarannya adalah al-Quran. Begitu bunyi QS. 53:5. Jadi, wajar jika ‘A’isyah menegaskan, “budi pekerti beliau adalah al-Quran.”
Ayah, suami, anak, negarawan, pemimpin masyarakat atau militer, semuanya dapat menimba keteladanan dari sumber yang tidak pernah kering itu. Berikut kita paparkan sekilas potret kepribadian beliau, sebagaimana dituturkan oleh mereka yang secara langsung pernah melihatnya.
Jika berbicara, Nabi sering menggigit-gigit bibirnya, menggelengkan atau menganggukkan kepala, memukul-mukul telapak tangan kiri dengan jari telunjuknya. Agaknya ini pertanda beliau memikirkan apa yang diucapkan sebelum terucapkan, karena beliau yakin: Tiada satu ucapanpun yang diucapakan, kecuali ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir (mencatatnya) (QS. 50:18). Ucapannya jelas, tiada kata yang “dikunyah” sehingga tidak terdengar, juga tiada yang tak bermanfaat. Pilihan kata-katanya sangat tepat. Lantaran ini, bahkan beliau dianugerahi “Jawâmi’ al-Kalim”, yakni kemampuan menyusun kalimat sarat makna.
Sering ucapannya diulangi tiga kali. Bukan hanya dialeknya yang sering disesuaikan dengan mitranya, tetapi juga kandungan percakapannya. Kalimat paling buruk dari ucapan beliau adalah: “Semoga dahinya terkena lumpur. ”Menurut penelitian, hanya sekali beliau menggunakan kata yang kotor menyangkut hubungan seks. Itu untuk meminta kejelasan dari seorang yang bertobat dan ingin dijatuhi sanksi.
Tertawa beliau umumnya hanya senyum. Kalaupun melebihi senyum, itu tidak sampai terbahak. Paling-paling antara gigi taring dan gerahamnya saja yang terlihat. Tangis dan keprihatinannya lebih banyak daripada tertawanya. Sabdanya: “Jika kalian mengetahui apa yang kuketahui, niscaya kalian sedikit tertawa dan banyak menangis.” Tak heran karena memang Al Qur’an mengecam kaum musyrik: Apakah kalian merasa heran terhadap penberitaan ini, dan kalian menertawakan serta tidak menangis? (QS. 53:59-60).
Ketika putranya Ibrahim wafat, beliau menangis. “Air mata berlinang, hati duka, tetapi kita tidak berucap kecuali yang diridhai Allah. Kami dengan kepergianmu, hai Ibrahim, sungguh sedih.” Demikian beliau melepas putra kesayangannya. Ketika Ibn Mas’ud membaca surat al-Nisa’, beliau tekun mendengarnya. Tapi beliau meminta sahabatnya itu untuk berhenti, karena beliau tak kuasa menahan tangisnya, ketika sampai pada firmanNya:
Maka bagaimanakah keadaannya apabila Kami mendatangkan seorang saksi dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (hai Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu? (QS. 4:41)
Kemurahan dan kerendahan hati Nabi saw sangat menonjol. Beliau tidak menggunakan atau menerima sedikitpun sedekah, tetapi menerima hadiah dan menganjurkan untuk saling bertukar hadiah. Dari orang Nasrani dan Yahudi pun beliau menerima hadiah dan membalasnya. Raja Mesir, al-Muqauqis, antara lain pernah memberinya hadiah keledai (baghal) yang kemudian dikendarai beliau dalam peperangan Hunain. Tetapi beliau menolak hadiah kuda dari Amir bin Malik karena kemusyrikannya. “Kita tidak menerima hadiah dari musyrik,” sabda beliau. Namuan demikian, beliau membenarkan seseorang menerima hadiah dari keluarganya yang musyrik.
Asma’ putri Abu Bakar pernah menolak hadiah ibunya yang masih musyrik. Tetapi, ketika ‘A’isyah saudari Asma’ dan istri Nabi menanyakan sikap tersebut kepada beliau, turun ayat Al Qur’an yang menyatakan:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil (memberi sebagian dari hartamu) terhadap mereka yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir dari negerimu… (QS. 60:8)
Jadi setelah turun ayat ini, Rasul membolehkan umatnya menerima hadiah sekalipun dari seorang musyrik.
Walau demikian, Raul saw mewanti-wanti pejabat yang menerima hadiah, jangan sampai di belakang hadiah itu terdapat motif yang tidak lurus. “Apakah bila duduk di rumah ibunya (tidak menjabat), ia diberi pula hadiah itu?”
Beliau enggan dipuji, baik pujian pada tempatnya, apalagi bukan pada tempatnya. Dua orang penyanyi mendendangkan lagu menyebut-nyebut syuhada perang badar. Ketika mereka bersyair, “Ada Nabi di sisi kami mengetahui yang terjadi esok”, Nabi menegur mereka: “Yang demikian jangan diucapkan.”
Tak bisa disangkal bahwa beliau adalah semulia-mulia nabi. Namun, ketika seorang memanggil beliau dengan ucapan “Ya, Khairal-bariyyah” (wahai, manusia terbaik), beliau menegurnya sambil berkata: “Panggilan itu untuk Nabi Ibrahim.” Dan meski Allah menyatakan bahwa Rasul-rasul itu kami muliakan sebagian mereka atas sebagian yang lain (QS. 2:253), Nabi saw menegaskan sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari: “Jangan pilah-pilah kebaikan para nabi.” Ini, tentunya, agar tidak menimbulkan kesan negatif terhadap seseorang di antara mereka yang dapat mengantarkan kepada sikap merendahkan mereka atau tidak beriman kepada kenabian mereka. Bukankah Allah mengajarkan Muslim untuk berucap Kami tidak membedakan antara seorang pun dengan yang lain dari rasul-rasulNya (QS. 2:285).
Nabi saw sangat sayang kepada anak-anak. Beliau mengucapkan salam kepada mereka sambil menyapanya. Bahkan boleh jadi menggendongnya. Ketika seorang anak pipis di pangkuan beliau, pengasuhnya merebut sang anak dengan kasar. Maka beliau menegurunya: Biarkan dia pipis. Ini (sambil menunjuk pakaian beliau yang basah) dapat dibersihkan dengan air. Tetapi apa yang dapat menjernihkan kekeruhan hati anak ini akibat renggutan yang keras?”
Keramahan dan kasih sayang beliau mencakup segala orang. “Kasihanilah petinggi satu kaum yang jatuh hina,” demikian sabdanya.
Ketika seseorang begitu takut dan gemetar menghadap beliau, beliau menenangkan orang itu sambil mengingat jasa ibunya: “Aku tidak lain adalah anak seorang wanita suku Quraisy yang memakan dendeng.” Sebagai penghormatan kepada orang lain, beliau mengulurkan tangan terlebih dahulu untuk bersalaman. Beliau menoleh dengan seluruh badannya, menunjuk dengan seluruh jarinya, dan tidak terlihat meluruskan kaki sambil duduk di tengah sahabatnya. Beliau memanggil mereka dengan panggilan mesra atau panggilan penghormatan, yakni dengan kunyah (kata yang didahului oleh “Abu” atau “Ummu”).
Beliau tidak pernah memotong pembicaraan seseorang. Dan, kalau menegur, tidak menyebut nama yang ditegurnya. “Mengapa ada yang melakukan ini dan itu,” begitu ucapnya. Ketika salah seorang “keluar angin” di pesta makan, dan setelah itu shalat segera akan dimulai, beliau tidak berkata: “yang keluar angin silakan berwudhu.” Beliau cukup mengatakan: “siapa yang makan daging unta, hendaklah dia berwudhu.” Namun sabdanya ini disalahpahami oleh ulama yang tidak mengetahui latar belakangnya sehingga menduga bahwa makan daging unta membatalkan wudhu. Padahal tidak demikian.
Kesadaran beliau akan tidak hidup untuk duniawi sungguh menonjol. Unta beliau dikenal sangat laju, tidak terkejar oleh unta lain. Tapi suatu ketika unta itu terkalahkan. Para sahabat pun kecewa sehingga beliau mengingatkan: “Telah menjadi ketetapan Tuhan, tidak sesuatupun yang ditinggikanNya, kecuali suatu ketika ia akan turun dari ketinggian itu.”
Demikian sekelumit kepribadian Nabi Muhammad saw yang tak pernah habis untuk diuraikan. Semoga shalawat dan salam Ilahi tercurah kepada beliau, keluarganya serta para sahabatnya.
(M.Quraish Shihab).