Ketrampilan membuat Wingko, sudah turun-temurun dilestarikan warga kecamatan Babat, Lamongan. Jajanan tradisional ini dulu menjadi makanan yang mewah saat masa kolonial belanda berkuasa. Konon waktu itu tidak semua masyarakat bisa membuat apalagi merasakan lezatnya Wingko karena biaya produksinya yang cukup tinggi.
Saat ini Wingko Babat bukan lagi sekedar jajanan tradisional, namun sudah menjadi mata pencaharian bagi sebagian warga di kecamatan Babat. Muhammad Kohar misalnya, bapak dua anak ini menekuni usaha pembuatan Wingko sejak 16 tahun yang lalu.
Awalnya ia hanya membuat Wingko dalam jumlah kecil, seiring bertambahnya waktu, usaha yang ia geluti ini semakin berkembang dan kini ia sudah mempunyai 15 karyawan.
Pembuatan Wingko sendiri cukup sederhana. Kelapa yang sudah dikupas dari tempurungnya kemudian di bersihkan dari kulitnya. Setelah itu kelapa dihaluskan dengan menggunakn mesin.
Setelah halus, kelapa kemudian dicampur dengan gula dan tepung ketan. Perbandingan bahan-bahan tersebut, 500 gram gula pasir, 500 gram tepung ketan, 200 gram kelapa parut. Bahan-bahan tersebut kemudian diaduk hingga rata dan kemudian dicetak.
Rata-rata Wingko Babat dicetak dengan bentuk bundar seperti roda. Ukurannya bervariasi, ada yang besar dan ada yang kecil. Umumnya yang dijual diterminal-terminal maupun di kios-kios penjual makanan. Sementara yang digunakan untuk acara hajatan ukurannya lebih besar.
Jika cetakan sudah selesai, pembuatan Wingko memasuki tahap akhir, yakni memasukkannya kedalam panggangan. Bahan bakar untuk memanggang Wingko diambilkan dari batok kelapa.
Proses pemanggangan ini kurang lebih membutuhkan waktu 30 menit. Ukuran oven atau alat panggang yang besar, memungkinkan untuk memanggang sebanyak seratus Wingko sekaligus.
Wingko buatan Kohar umumnya dijual di terminal-terminal maupun halte bus yang ada di Lamongan dan Tuban. Namun tak jarang ia melayani pesanan kios-kios penjual oleh-oleh khas Lamongan.
Keuntungan membuat Wingko ini diakui Kohar cukup lumayan. Rata-rata omzet per bulannya mencapai 7.500.000 rupiah. Jumlah tersebut akan meningkat di hari-hari libur. “Jika hari libur, penjualan meningkat tajam, yang rata-rata di jadikan oleh-oleh untuk keluarga di luar kota”, ujar Kohar.
Meski di produksi di luar kota Lamongan sperti di Semarang misalnya, nama Wingko tetap akan di gabungkan dengan nama Babat, sebagai petunjuk bahawa makanan tradidional ini tidak bisa di lepas dari kota tempat Wingko muncul. Dengan kata lain, kota Babat menjadi mashur justru karena jajan tradisional ini.