Sampai dengan September 2009, secara kumulatif tercatat ada 139 penderita HIV/AIDS di Lamongan. Dari jumlah tersebut, 55 diantaranya sudah meninggal dunia sementara 84 orang masih hidup. Sedangkan dari jumlah yang masih hidup itu seperti disampaikan Kadinkes Lamongan Mochammad Sochib, seperti fenomena gunung es.
Dikatakan Sochib, di Lamongan ada potensi penderita HIV/AIDS 10 kali lipat dari jumlah yang tercatat masih hidup. Menurutnya, fenomena itu seperti fenomena gunung es. Artinya yang tercatat hanyalah puncaknya saja, sementara ada potensi yang belum tercatat hingga mencapai 840 penderita. Itu dikatakannya dalam Seminar Sehari Penanggulangan AIDS yang dibuka Wakil Bupati Tsalits Fahami di Pendopo Lokatantra setempat, Selasa (1/12).
Lebih lanjut disampaikan oleh Sochib, penanganan HIV/AIDS terkait erat dengan masalah etika dan hak asasi manusia atau HAM. “ini (angka penderita HIV/AIDS) sangat mencengangkan. Seandainya diperkenankan untuk memeriksa darah setiap pasien yang datang ke rumah sakit maupun puskesmas, niscaya penderita HIV/AIDS bisa diketahui lebih dini. Sehingga penangannnyapun bisa dilakukan lebih dini. Namun sekali lagi, ini terhalang etika dan HAM, “ ujarnya di kegiatan yang digelar Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Lamongan itu .
Diungkapkan olehnya, AIDS mulai masuk Lamongan pada tahun 2002 dari seorang Wanita Penjaja Seksual (WPS) asal Lamongan yang bekerja di Sampit/Kalimantan Tengah. Jumlah penderita ini kemudian naik menjadi 92 orang pada 2008 dan kemudian secara kumulatif naik menjadi 139 penderita pada September 2009. demikian pula penemuan kasus baru terus meningkat dari hitungan jari pada 2002 hingga 2005 menjadi 47 kasus baru di tahun 2009.
Sementara dari 27 kecamatan di Lamongan, hanya empat kecamatan yang belum terpapar HIV/AIDS. Yakni Kecamatan Modo, Karangbinangun, Bluluk dan Sukorame. Terbanyak berada di Kecamatan Sukodadi dengan 15 orang penderita. Berdasar gender, penderita di Lamongan didominasi laki-laki sebesar 56 persen, wanita 37 persen dan waria 7 persen. Kemudian berdasar usia, yang terbanyak adalah usia produktif 31-35 tahun sebanyak 35 penderita dan usia 26-30 tahun sebanyak 31 penderita. Tercatat pula 3 orang penderita dengan usia kurang dari 5 tahun. Yang membuat miris, ternyata 85 persen penderita AIDs di Lamongan berstaus sudah menikah.
Sedangkan Tsalits Fahami saat menyampaikan sambutannya berharap masyarakat tidak menjauhi dan mengucilkan penderita HIV/AIDS. Fenomena itu menunjukkan masih kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai HIV/AIDS. Seharusnya penderita ini malah harus diberikan support dan kasih sayang.
“Sampai saat ini belum ditemukan obat untuk HIV/AIDS. Yang ada baru retrovirus yang hanya mampu untuk menekan perkembangan virusnya. Sehingga pengobatan harus dijalankan sepanjang hidup penderita. Karena itulah mereka memerlukan support dan pendampingan. Yang penting dilakukan sekarang adalah melakukan pencegahan agar penyakit ini tidak menggerogoti generasi muda Indonesia, “ ujarnya yang juga Ketua Pelaksana Harian KPA Lamongan itu. (Humas Pemkab Lamongan)