Anda pernah membaca tulisan saya di KOMPASIANA yang berjudul Siapakah Pengganti Yudhoyono?,  tulisan tersebut saya posting pada 11 April 2011, Artikel itu membahas  kemungkinan-kemungkinan yang terjadi setelah Pemerintahan Yudhoyono  nanti. 
Salah  satu paragraf yang ada disana saya menuliskan soal akhiran NO dalam  nama seorang Presiden di Indonesia, Presiden yang berakhiran ‘NO’ akan  lebih cendrung menjadi raja ketimbang presiden, akhirnya mereka berharap  menjadi presiden selamanya hingga meninggal, di masa Soekarno hal ini  sempat tercetus untuk menjadi Presiden seumur hidup dan di masa  Yudhoyono pun sempat terungkap hal yang sama dengan isu menambah waktu  masa kerja presiden satu periode lagi, untungnya UU Politik yang dibuat  masa Reformasi dapat membatasi masa jabatan presiden hanya 2 kali saja,  jika tidak ada kemungkinan Yudhoyono akan menambah masa kerjanya  beberapa periode lagi.
Sayangnya  pemerintahan yang dipimpin oleh NO-TO-NO-TO. Sampai kapanpun tidak  membuat bangsa ini maju. Mengapa? mungkin itu pertanyaan Anda. Saya akan  jelaskan sedikit sebelum ke pokok pembasan utama saya nanti, Presiden  yg namanya berakhiran ‘NO’ akan lebih cendrung mengedepankan  Nasionalisme, Harga diri pribadi, Harga diri bangsa dimata  internasional, persatuan dan kesatuan bangsa dan Pencitraan diri. Ohya  satu lagi, kemampuan mereka ada pada Seni Retorika yang mempengaruhi  kepemimpinan mereka, bagaiman Soekarno dicintai rakyat dengan  pidato-pidatonya begitu cerita nenek saya, lalu bagaimana dengan  Yudhoyono ? Yudhoyono memiliki kharismatik yang tinggi saat berpidato  plus fisik besar tinggi menjadi pujaan ibu-ibu di Indonesia, Perlu  pembaca ketahui konfrontasi RI-MALAYSIA terjadi dimasa 2 presiden ini,  dengan satu tujuan membela harga diri Bangsa dan Pencitraan diri.
 Baiklah,  saya tidak akan membahas lagi soal Presiden yang namanya berakhiran  “NO” , Karena walaupun sederhana sudah saya tulis di Artikel sebelumnya.  Kali ini saya mencoba menganalisis soal mengapa Yudhoyono “tidak tegas” terhadap “penjahat” di Negeri ini yang sering kita sebut KORUPTOR?.  Begitu banyak kasus korupsi di peti eskan, KPK dibentuk hanya sebagai  alat politik pencitraan diri bahkan berkali-kali di kriminalisasi, perlu  pemahaman yang kuat bahwa Politik di Indonesia itu dibangun diatas  Materialisme atau sederhanya adalah UANG, hampir dipastikan ketua-ketua  Partai terpilih di Partai-Partai besar adalah orang yang memiliki uang  banyak, jika Anas memenangkan kursi Ketua Umum Partai Demokrat itu pun  UANG walaupun Anas tidak memiliki uang, tetapi yang mengharapkan Anas  menang dari Andy Malaranggeng adalah orang-orang yang punya uang, maka  muncullah “Sinetron” yang berjudul Nazarudin. 
Lalu  apa kaitannya dengan tidak tegasnya Yudhoyono terhadap Penjahat bernama  Koruptor itu dengan UANG? Wah, sangat erat sekali, karena Uang adalah  mesin Politik yang paling jitu maka siapakah yang mampu melawannya, la  wong yang Koruptor itu yang punya uang banyak kok, apakah itu Gayus,  Apakah Nazarudin dan masih banyak lagi yang masih berkeliaran tidak  ketahuan diluar sana. 
Sikap  tegas kepada Koruptor yang notabene memiliki uang banyak tersebut  bisa  dapat membuat “masalah” baru bagi pemerintahan siapapun jika sistem  Pemerintahanya  dibangun dengan sistem materialisme tersebut, segalanya  diukur dengan uang, apapun uang, rupiah menguat saat  pemilihan-pemilihan, apakah itu pemilihan legistif, Pemelihan Presiden,  Pemilihan Ketua Partai, Pemilihan apapun yakinlah bahwa UANG dipastikan  ikut “BERMAIN” di dalamnya. 
 Lawan Korupsi, Jangan Melempem
Maka,  langkah yang paling aman bagi Yudhoyono adalah berpura-pura tegas  kepada orang-orang yang sudah ketahuan menjadi Koruptor, padahal  dibelakanngnya kemungkinan sudah terjadi perjanjian akan “melindungi”  mereka dari jeratan hukum, Sandiwara seperti ini sudah berlangsung sejak  lama, Berpidato dihadapan rakyat bersuara membela kepentingan rakyat  demi membangun sebuah CITRA seolah-olah Berpihak  kepada rakyat, tetapi  sejatinya adalah “melindungi” penjahat-penjahat itu dari hukum. Mengapa?  Karena penjahat-penjahat itu punya UANG, yang bisa membayar apapun dan  siapapun, sehingga kekhawatiran tidak terpilih lagi dalam pencalonan  berikutnya apakah dirinya, istrinya, anaknya, koleganya atau siapapun  yang dia percaya untuk meneruskan “dinasti”nya. Kekhawatiran inilah yang  membuat siapapun penguasanya akan “melindungi” Koruptor-koruptor  tersebut. 
Anda  masih ingat dengan Presiden Soekarno? Dalam sebuah majalah usang tahun  70-an koleksi perpustakaan Pribadi saya, saya menemukan sebuah wawancara  antara Soekarno dengan wartawan sebuah majalah. Wartawan itu bertanya “Pak Presiden, Mengapa Anda melindungi Komunis?” Anda tahu jawaban Soekarno Apa? Jawaban SOEKARNO adalah “APAKAH SAYA SALAH MELINDUNGI WARGA NEGARA SAYA YANG MEMINTA PERLINDUNGAN DARI SAYA SEBAGAI KEPALA NEGARA”. 
Jika Anda bertanya Kepada Presiden Yudhoyono “Pak  Presiden, Mengapa Anda Melindungi Koruptor? Sehingga Anda  Ngebela-belain membalas Surat Sang Koruptor Nazarudin sebagai contohnya?” ,  yakinlah, sebagai Presiden yang namanya sama-sama berakhiran ‘NO’  seperti halnya Presiden Soekarno, maka Jawaban Presiden Yudhoyono adalah  sama “APAKAH SAYA SALAH MELINDUNGI WARGA NEGARA SAYA YANG MEMINTA PERLINDUNGAN DARI SAYA SEBAGAI KEPALA NEGARA”. 
 Perjuangan Belum Usai Bung, MERDEKA!
Nazarudin  meminta perlindungan, maka Presiden merasa perlu melindunginya sebagai  kepala Negara Republik ini, walaupun sebenarnya lebih kepada kepentingan  yang sudah saya diuraikan diatas, yakni  Kepentingan untuk kelanjutan  dinasti yang dipasok dari uang yang dimiliki banyak Koruptor dan  pengusaha-pengusaha yang ada dibelakang koruptor tersebut. 
Masih adakah Harapan Untuk Kita Maju? Semoga….
Administrator