Seperti biasanya siang itu matahari memanggang kota Makkah dengan amat terikh. Hari itu, Rosululloh baru saja berjama’ah sholat Dhuhur bersama para sohabat. Sesaat mereka selesai membaca dzikir, tiba-tiba seorang laki-laki menyeruak dari sof paling belakang. Dengan merunduk-runduk ia melangkahi beberapa sof, langsung duduk di belakang Rosululloh. Bau anyir peluh di tubuhnya menyebar. Tubuh lelaki tua itu, kurus, ceking dan kumuh penuh debu. Kumis dan jambangnya lebat, rambutnya gondrong tak terurus.
Dengan terbata-bata, lelaki tua itu memohon kepada Rosululloh: “Assalamu’alaikum, ya Rosululloh. Sudah beberapa hari saya kelaparan. Tubuhku hampir telanjang karena hanya kain selembar dan compang-camping ini yang kupakai. Saya datang dari pedusunan, nun jauh di puncak bukit sana. Saya lapar dan capai. Karena itu maaf ya Rosululloh, saya tak bisa ikut serta sholat berjama’ah karena tak mampu menutup aurot. Adakah sesuap gandum yang bisa mengganjal perut dan selembar kain penutup aurot?””.
Sebenarnya Rosululloh sangat iba melihat keadaan orang itu. Wajahnya pucat, bibirnya membiru dan tangannya gemetar memegang tongkatnya. Tetapi apa mau dikata, beliau sedang tidak punya apa-apa yang bisa diberikan kepadanya.
“Siapakah engkau, wahai saudaraku?” tanya Rosululloh dengan lembut sambil menjabat tangan, sementara telapak kirinya menepuk pundak musafir yang kelaparan itu.
“Nama saya tidaklah penting, ya Rosululloh. Tetapi saya adalah seorang Arabi, orang dusun yang sangat miskin. Saya sangat merindukan bisa bertemu dengan engkau, wahai kekasih Alloh. Apalagi jika engkau bersedia mengenyangkan perut saya dan membantu menutup aurot saya hingga saya bisa kembali sholat,” jawab lelaki tua itu terbata. Tubuhnya gemetar.
Rosululloh sangat terharu. Lalu sabdanya: “Sayang sekali, wahai saudaraku, saya sendiri saat ini juga tidak punya apa-apa seperti halnya engkau. Tetapi orang yang menunjukkan kebaikan, sesunggunya sama saja pahalanya dengan orang yang berbuat kebaikan. Karena itu saya sarankan agar saudaraku datang kepada orang yang dicintai Alloh dan Rosul-Nya, yang lebih mementingkan Alloh ketimbang dirinya sendiri. Rumahnya sangat dekat dengan rumahku (yang dimaksud ialah Fatimah az-Zuhra, putri Rosululloh), mungkin ada sesuatu yang bisa diberikannya sebagai sedekah.”
Dengan diantar oleh Bilal bin Robbah, bekas budak belian berkulit hitam yang sudah dimerdekakan oleh Hamzah, paman Rosululloh, berangkatlah musafir tua itu ke rumah Fatimah. Siang itu, kebetulan Fatimah ada di rumah, yang seperti haknya rumah Rosululloh, sangat sederhana. Dengan sangat santun, lelaki itu berkata:
“Assalamu’alaikum, wahai putri Roaululloh.” Suaranya serak parau, tubuhnya gemetar, hampir saja jatuh terkulai.
”Wa’alaikumussalam, Siapakah kakek? Adakah sesuatu yang dapat saya bantu?”
Dengan penuh harap, sementara kedua belah matanya berkaca-kaca, Badui Arab itu menceritakan keadaan dirinya, sama seperti yang baru saja ia ceritakan kepada Rosululloh. Persis, tak kurang tak lebih.
Mendengar cerita mengharukan itu, Fatimah bingung. Ia tak berdaya. Ia tidak memiliki barang yang cukup berharga untuk di sedekahkan. Padahal selaku keluarga Rosululloh ia telah terbiasa menjalani hidup amat sederhana, jauh dibawah taraf kehidupan rakyat jelata. Tetapi hatinya tak tega membiarkan lelaki tua dan miskin itu tetap kelaparan sementara tubuhnya hampir-hampir tak tertutu.
Setelah mencari-cari sesuatu di sekililing rumahnya yang sempit itu, akhirnya Fatimah memberikan satu-satunya alas tidur miliknya yang biasa di pakai sebagai alas tidur Hasan dan Husain. Dengan ikhlas, ia pun menyerahkan kepada sang tamu.
Tentu saja si Badui Arabi itu terheran-heran. Ia butuh makanan karena berhari-hari perutnya keroncongan. Ia hampir telanjang karena sudah lama pakaiannya hanya selembar kain kumal yang sudah compang-camping.
“Maaf Wahai putri Rosululloh yang dicintai oleh Alloh. Saya kemari karena lapar dan mengharapkan selembar kain penutup aurot. Tapi yang engkau berikan hanya ini. Apa yang bisa saya perbuat dengan selembar kulit kambing ini?” Kata kakek itu dengan memelas.
Fatimah pun malu bukan main. Ia bertambah bingung. Ia kembali masuk kedalam rumahnya, matanya mencari-cari lagi sesuatu yang barangkali dapat ia sumbangkan kepada fakir miskin itu. Tetapi sungguh, tak ada satu pun barang atau makanan yang layak untuk di berikan. Ia bertanya-tanya mengapa ayahku mengirimkan orang ini kepadaku, padahal Ayah tahu aku tidak lebih kaya daripada beliau? Sesudah merenung sejenak barulah ia teringat akan seuntai barang pemberian Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutholib, bibinya. Barang itu amat indah, namun ia merasa kurang pantas memakainya karena ia dikenal sebagai pemimpin umat. Barang itu adalah sebuah kalung emas.
Buru-buru diambilnya benda itu dari dalam kotak simpanannya lalu dengan rasa ikhlas kalung kesayangan itu ia berikan kepada si Badui Arabi. Dengan senyum ramah, Fatimah pun menyerahkannya. “Ambillah kalung ini, kakek. Inilah satu-satunya benda berharga yang sempat saya miliki dan layak saya berikan kepada kakek. Ambillah, saya mengikhlaskannya. Mudah-mudahan Alloh SWT berkenan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dan lebih berharga,” katanya dengan lembut tapi penuh hormat. Nada bicara wanita terhormat itu sangat menyentuh hati.
Orang itu terbelalak melihat benda yang kini digenggamnya. Begitu indah. Pasti mahal harganya. Dengan suka cita dan wajah berseri, orang itu pun kembali menghadap Rosululloh. Diperlihatkannya kepada beliau kalung emas pemberian Fatimah. Ia pun menceritakan betapa Fatimah dengan ramah dan lembut tetapi penuh hormat memberinya seuntai kalung emas yang tak ternilai harganya.
Mendengar cerita orang tua itu, Rosululloh tak mampu menahan airmatanya yang meleleh satu-satu sambil berdoa, ‘Semoga Alloh membalas keikhlasannya”
Diantara jama’ah yang ada saat itu terdapat salah satu sohabat Rosululloh yang cukup mampu, Abdurrohman bin Auf. Melihat dan mendengar cerita kakek musafir itu, Abdurrohman pun berkata: “Ya Rosululloh, bolehkah saya membeli kalung itu?”.
Sambil menyeka kedua belah pipinya yang basah oleh air mata, Rosululloh pun menjawab, “Belilah, jika engkau bersedia.”
Abdurrohman pun kemudian mendekati Badui Arab yang menimang-nimang kalung itu.
“Pak, Berapa kalung itu mau kamu jual?” tanyanya kepada musafir itu.
Kakek itu menoleh kepada Rosululloh.
“Bolehkah saya jual ya Rasul?”
“Silahkan, kalung itu milikmu” sahut Rosululloh.
Orang itu lantas berkata kepada Abdurrohman bin Auf.
“Seharga beberapa potong roti dan daging yang bisa sekedar mengenyangkan perutku. Tetapi kalau bisa tambahlah dengan secarik kain penutup aurot agar saya bisa menghadap Alloh serta beberapa keping dinar agar saya bisa pulang kampung,” Jawab si Badui.
“Baiklah. Kalung itu saya beli dengan 20 dinar dan 100 dirham. Selain itu saya tambah dengan roti dan daging secukupnya. Saya juga akan memberi pakaian serta seekor unta agar engkau bisa pulang kembali ke keluargamu di dusun,” kata Abdurrahman lagi.
“Alangkah baik budimu. Saya terima tawaranmu,” ujar orang tua itu sembari melangkah menjabat tangan Abdurrohman.
Abdurrohman pun mengantar musafir itu mengambil semua yang dijanjikan di rumahnya. Kini, musafir itu mengambil semua yang dijanjikan Abdurrahman di rumahnya. Kini musafir tua yang dekil itu bersemangat dan berseri-seri. Ia sudah kenyang, tubuhnya bersih. Dengan pakaian yang rapi, ia mengendarai onta yang sehat.
“Bagaimana keadaanmu sekarang, saudaraku?” tanya Rosululoh.
“Alhamdulillah. Wahai kekasih Alloh. Saya telah mendapatkan yang lebih daripada yang saya perlukan. Bahkan saya merasa telah menjadi orang kaya.”
Rosululloh menjawab,”Terimah kasih kepada Alloh dan Rosul-Nya harus diawali dengan terimah kasih kepada yang bersangkutan. Balaslah kebaikan Fatimah.”
Kontan, orang tua itu pun mengangkat kedua tangannya ke atas, “Ya, Alloh. Aku tak mampu membalas kebaikan Fatimah dengan sepadan. Karena itu aku memohon kepada-Mu, berilah Fatimah balasan dari hadirat-Mu, berupa sesuatu yang tidak terlintas di mata, tidak terbayang di telinga dan tidak terbesit di hati, yakni surga-Mu, Jannatun Na’im.”
Rosululloh menyambut doa itu dengan “amin” seraya tersenyum ceria.
Beberapa hari kemudian, budak Abdurrohman bin Auf bernama Sahm datang menghadap Rosululloh dengan membawa kalung yang dibeli dari orang tua itu.
“Ya, Rosululloh,”ujar Sahm. “Saya datang kemari diperintah Tuan Abdurrohman bin Auf untuk menyerahkan kalung ini untukmu, dan diri saya sebagai budak diserahkannya kepadamu.”
Rosululloh tertawa, “Kuterima pemberian itu. Nah, sekarang lanjutkanlah perjalananmu ke rumah Fatimah, anakku. Kalung ini tolong serahkan kepadanya. Juga engkau kuberikan untuk Fatimah.
Sahm lalu mendatangi Fatimah di rumahnya, dan menceritakan pesan Rosululloh untuknya. Fatimah dengan lega menerima dan menyimpan kalung itu di tempat semula, lantas berkata kepada Sahm,”Engkau sekarang telah menjadi hakku. Karena itu engkau kubebaskan. Sejak hari ini engkau menjadi orang yang merdeka.”
Sahm tertawa nyaring sampai Fatimah keheranan,”Mengapa engkau tertawa?”
Bekas budak itu menjawa,”Saya gembira menyaksikan riwayat sedekah dari satu tangan ke tangan berikutnya. Kalung ini tetap kembali kepadamu, wahai putri Rosululoh, namun karena dilandasi keikhlasan, kalung ini telah membuat kaya orang miskin, telah menjamin surga untukmu, dan kini membebaskan aku menjadi manusia merdeka.”***