Ada rasa bangga terbersit di wajah para siswa SMA Negeri I Kebomas kala mereka menampilkan busana batik yang dikenakannya. Bak seorang Peragawati Vivi Zampramida, Vony Ayuningtyas, Suci Nurafika, Ayu Wandira, Thomas Pradeni dan Fajar Ramadhan dan teman-temannya melenggak lenggok dilapangan Futsal sekolah, Senin (14/6). Saat itu batik mereka akan dinilai oleh guru Seni dan Budaya.
Dari corak batik yg dikenakan, ternyata ada bermacam motif batik. Warnanyapun beraneka pula kuning, biru, hijau, coklat sesuai warna kesukaan pembuatnya masing-masing. Namun toh demikian, motif batiknya semuanya mengarah ke corak abstrak. Kalaupun ada motif bunga-bunga serta binatang itupun jauh dari pakem batik yang ada.
Menurut guru yang membidangi Mapel Seni Budaya Margiyanto, “ batik yang dikenakan siswa itu adalah batik karya siswa sendiri. Para siswa kelas X Kami beri tugas membatik sebagai bagian dari Ujian Akhir sekolah (UAS) untuk mata pelajaran Seni Budaya. Melihat begitu bangganya para siswa mengenakan batik buatannya itu, kami menilai rasa bangga dan keserasian mereka saat mengenakan batik tersebut.
Kendati bangga dengan hasil karya batik yang telah dibuat, namun semua murid mengaku bahwa membatik adalah pekerjaan yang sulit. Hal ini seperti pengakuan Vony Ayuningtyas. “ lengan saya melepuh saat kejatuhan canting yang berisi lilin panas. Saat itu saya mengambil adonan batik, lalu saat meniup canting yang berisi lilin panas itu tersenggol teman, jadilah canting yang panas itu terpental dan jatuhnya dilengan saya sendiri. Mulanya sih hanya merah lalu melepuh” ujar Vony mengenang.
Beda halnya dengan Vivi Zampramida, gadis ini mengaku telah menghabiskan (merusak) 3 ember plastic dirumahnya. Hal ini karena saat merendam kain hasil batiknya dengan air panas, lilin yang awalnya menempel pada kain berpindah menempel pada ember. Padahal perendaman dilakukan sampai 3 kali. Yang dilakukan Vivi merendam 3 kali dengan ember berbeda. Jadilah 3 ember tersebut rusak karena tertempel lilin berwarna yang ternyata sulit untuk menghilangkannya. Bahkan sikat cucian yg sedianya untuk membersihkan ember tersebut ikut rusak.
Berdasarkan pengalaman membatik yang menurut mereka sulit, mereka menolak ketika ditanyakan apakah ada yang punya keinginan menjadi pembatik, serempak mereka menjawab,”tidak …..” katanya sambil tertawa cekikikan. Sementara Ayu Wandira menyatakan prihatin dengan kehidupan pembatik tradisional, “dengan kesulitan membatik, ternyata harga batik karya mereka dihargai sangat murah. Padahal kami semua saat membuat batik dan ongkos jahit telah menghabiskan uang sekitar Rp. 80.000,-. Bahkan ada teman lain yang lebih” ujarnya dalam. (sdm, Humas Pemkab Gresik)