Ratusan warga di bagian barat kabupaten Bojonegoro Jawa Timur, secara turun temurun menjalani kehidupan sebagai penambang minyak tradisional. Dari generasi ke generasi, mereka menggantungkan hidup dari sumur-sumur minyak peninggalan pemerintah Hindia Belanda.
Semenjak ditinggalkan oleh penjajah belanda, ratusan sumur tua di kecamatan Kedewan Bojonegoro telah menjadi lahan penghidupan bagi warga sekitarnya. Seluruh proses yang dilakukan dengan sangat tradisonal, mereka pelajari secara otodidak.
Mereka bekerja secara berkelompok dan membagi hasil jerih payah mereka dengan rata. Seperti yang dilakukan oleh salah satu kelompok misalnya, mulai dari mengangkat minyak dari sumur tua yang mempunyai kedalaman hingga 400 meter, semua dilakukan secara manual. Proses pengambilan minyak mentah atau yang disebut lanthung tersebut berlangsung sejak matahari terbit hingga menjelang matahari terbenam.
Minyak mentah yang berhasil diangkat kemudian dialirkan ke tempat penampungan untuk menjalani proses pemisahan dari campuran air yang ikut terangkat. Lagi-lagi secara manual.
Setelah terpisah dari air, kemudian minyak mentah tersebut dialirkan ke penampungan selanjutnya untuk kemudian disuling menjadi bahan bakar yang siap dijual. Proses yang terbilang sangat berbahaya ini pun dilakkan secara sederhana tanpa menggunakan peralatan pengaman apapun.
Dalam sehari, rata- rata hasil sulingan minyak mentah yang telah berubah menjadi solar tersebut bisa mencapai satu drum atau setara dengan 200 liter.
Untuk saat ini, mereka lebih memilih untuk bekerja secara kelompok-kelompok tanpa terorganisir, karena menurut mereka hasil yang didapatkan jauh lebih baik bila harus bergabung dengan koperasi bentukan pemerintah setempat.
Satu drum solar yang dikerjakan dan dijual secara tradisonal tersebut, dibagi untuk rata-rata tiga orang per sumurnya, dengan hasil bersih sebesar Empat Puluh Lima Ribu Rupiah per orangnya.
Bagi warga yang tidak tergabung dalam kelompok, biasanya mereka berprofesi sebagai pengepul minyak mentah atau sebagai pengojek minyak hasil sulingan dengan tarif Seratus Ribu Rupiah untuk enam jerigen berkapasitas masing-masing tiga puluh lima liter.
Sementara sebagian lagi memilih untuk memikul minyak-minyak mentah tersebut sejauh beberapa kilometer untuk diproses menjadi solar. Hal itu dilakukan guna menghemat biaya angkut atau ojek, menyusul tarif ojek mencapai ratusan ribu rupiah tergantung lokasi sumur dengan pembelinya.
Kegiatan semacam itu, menurut para penambang minyak dan penyulingnya, merupakan satu-satunya lahan pekerjaan yang bisa menghasilkan pendapatan yang memadai,meski tak jarang mereka harus berurusan dengan aparat saat menjual solar hasil sulingannya, ,
untuk 70 liter solar, yang sebagian besar dijual guna keperluan truk-truk yang melintas di jalur provinsi. Mereka mematok harga 140 Ribu Rupiah, jauh lebih murah dari harga resmi yang ditetapkan oleh pemerintah.
Sumur-sumur tua tersebut merupakan peninggalan jaman belanda,yang secara berkelompok mereka buka kembali dengan cara amat tradisonal.
Tak semua beruntung, terkadang mereka yang tergabung dalam kelompok-kelompok harus melakukan proses awal hingga belasan tahun lamanya. Untuk sekali proses pengangkatan tanah misalnya, diperlukan satu jam setengah gerakan berputar secara manual di tengah terik matahari.
Pembersihan semacam ini berlangsung hingga bertahun-tahun hingga akhirnya sumur tersebut dapat mengeluarkan minyak mentah kembali yang dapat diproses menjadi bahan bakar siap jual. Sementara mereka yang mempunyai sedikit modal, memanfaatkan truk bekas sebagai alat pengganti manusia untuk membuka sumur-sumur tua tersebut.
Sebelum sumur mengeluarkan minyak mentah,seluruh tenaga dan biaya yang dikeluarkan ditanggung bersama-sama, tidak satupun dari mereka mendapatkan bayaran atas jerih payahnya.
Para penambang ini berharap agar pemerintah setempat dapat mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada mereka. Karena hingga saat ini satu-satunya kebijakan yang dibuat adalah pembentukan koperasi, yang menurut mereka justru mengurangi pendapatan, tanpa mendapatkan manfaat lebih.
Mereka kini pun masih harus bersaing dengan beberapa perusahaan yang dilegalkan oleh pemerintah. Tak jarang minyak dari sumur tua yang mereka kelola secara tradisional berkurang jumlah minyaknya setelah perusahaan tersebut melakukan pengeboran dan penyedotan di sekitar sumur mereka. (86)