DIKUTIP.COM - Kurban ialah kambing yg disembelih setelah melaksanakan shalat Idul Adha dalam rangka mendekatkan diri kpd Allah, krn Dia Yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman.
“Arti : Katakanlah : sesungguh shalatku, kurbanku (nusuk), hidup dan matiku ialah untuk Allah Rabb semesta alam tdk ada sekutu bagi-Nya” [Al-An’am : 162]
Nusuk dalam ayat di atas ialah menyembelih hewan dalam rangka mendekatkan diri kpd Allah Ta’ala.[1]
Ulama berselisih pendpt tentang hukum kurban. Yang tampak paling rajih (tepat) dari dalil-dalil yg beragam ialah hukum wajib. Berikut ini akan aku sebutkan untukmu -wahai saudaraku muslim- beberapa hadits yg dijadikan sebagai dalil oleh mereka yg mewajibkan :
PERTAMA
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Arti : Siapa yg memiliki kelapangan (harta) tapi ia tdk menyembelih kurban maka jangan sekali-kali ia mendekati mushalla kami” [2]
Sisi pendalilan ialah beliau melarang orang yg memiliki kelapangan harta untuk mendekati mushalla jika ia tdk menyembelih kurban. Ini menunjukkan bahwa ia telah meninggalkan kewajiban, seakan-akan tdk ada faedah mendekatkan diri kpd Allah bersamaan dgn meninggalkan kewajiban ini.
KEDUA
Dari Jundab bin Abdullah Al-Bajali, ia berkata : Pada hari raya kurban, aku menyaksikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Arti : Siapa yg menyembelih sebelum melaksanakan shalat maka hendaklah ia mengulang dgn hewan lain, dan siapa yg belum menyembelih kurban maka sembelihlah” [3]
Perintah secara dhahir menunjukkan wajib, dan tdk ada [4] perkara yg memalingkan dari dhahirnya.
KETIGA
Mikhnaf bin Sulaim menyatakan bahwa ia pernah menyaksikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Arafah, beliau bersabda.
“Arti : Bagi setiap keluarga wajib untuk menyembelih ‘atirah[5] setiap tahun. Tahukah kalian apa itu ‘atirah ? Inilah yg biasa dikatakan orang dgn nama rajabiyah” [6]
Perintah dalam hadits ini menunjukkan wajib. Adapun ‘atirah telah dihapus hukum (mansukh), dan penghapusan kewajiban ‘atirah tdk menghrskan dihapuskan kewajiban kurban, bahkan hukum tetap sebagaimana asalnya.
Berkata Ibnul Atsir :
‘Atirah hukum mansukh, hal ini ha dilakukan pada awal Islam.[7]
Adapun orang-orang yg menyelisihi pendpt wajib kurban, maka syubhat mereka yg paling besar untuk menunjukkan (bahwa) menyembelih kurban hukum sunnah ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Arti : Apabila masuk sepuluh hari (yg awal dari bulan Dzulhijjah -pen), lalu salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban maka janganlah ia menyentuh sedikitpun dari rambut dan tdk pula kulitnya”. [8]
Mereka berkata [9] :
“Dalam hadits ini ada dalil yg menunjukkan bahwa menyembelih hewan kurban tdk wajib, krn beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban ….” , seandai wajib tentu beliau tdk menyandarkan hal itu pada keinginan (iradah) seseorang”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah membantah syubhat ini setelah beliau menguatkan pendpt wajib hukum, dgn perkataan [10]
“Orang-orang yg menolak wajib menyembelih kurban tdk ada pada mereka satu dalil. Sandaran mereka ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Siapa yg ingin menyembelih kurban …..” Mereka Berkata : “Sesuatu yg wajib tdk akan dikaitkan dgn iradah (kehendak/keinginan) !” Ini mrpk ucapan yg global, krn kewajiban tdk disandarkan kpd keinginan hamba maka dikatakan : “Jika engkau mau lakukanlah”, tetapi terkadang kewajiban itu digandengkan dgn syarat untuk menerangkan satu hukum dari hukum-hukum yg ada. Seperti firman Allah :
“Arti : Apabila kalian hendak mengerjakan shalat maka basuhlah ….” [Al-Maidah : 6]
Dikatakan : Jika kalian ingin shalat. Dan dikatakan pula : Jika kalian ingin membaca Al-Qur’an maka berta’awudzlah (mintalah perlindungan kpd Allah). Thaharah (bersuci) itu hukum wajib dan membaca Al-Qur’an (Al-Fatihah-pent) di dalam shalat itu wajib.
Dalam ayat ini Allah berfirman :
“Arti : Al-Qur’an itu hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antara kalian yg ingin menempuh jalan yg lurus” [At-Takwir : 27]
Allah berfirman demikian sedangkan keinginan untuk istiqamah itu wajib”.
Kemudian beliau rahimahullah berkata [11] :
Dan juga, tdklah setiap orang diwajibkan pada untuk menyembelih kurban. Kewajiban ha dibebankan bagi orang yg mampu, maka dialah yg dimaksudkan ingin menyembelih kurban, sebagaimana beliau berkata :
“Arti : Siapa yg ingin menunaikan ibadah haji hendaklah ia bersegera menunaikan ….. ” [12]
Haji hukum wajib bagi orang yg mampu, maka sabda beliau : “Siapa yg ingin menyembelih kurban …” sama hal dgn sabda beliau : “Siapa yg ingin menunaikan ibadah haji ……..”
Imam Al-’Aini [13] rahimahullah telah memberikan jawaban atas dalil mereka yg telah disebutkan -dalam rangka menjelaskan ucapan penulis kitab “Al-Hadayah”[14] yg berbunyi : “Yang dimaksudkan dgn iradah (keinginan/kehendak) dalam hadits yg diriwayatkan -wallahu a’lam- ialah lawan dari sahwu (lupa) bukan takhyir (pilihan, boleh tdk -pent)”. Al-’Aini rahimahullah menjelaskan :
“Yakni : Tidaklah yg dimaksudka takhyir antara meninggalkan dan kebolehan, maka jadilah seakan-akan ia berkata : “Siapa yg bermaksud untuk menyembelih hewan kurban di antara kalian”, dan ini tdk menunjukkan dinafikan kewajiban, sebagaimana sabda :
“Arti : Siapa yg ingin shalat maka hendaklah ia berwudlu” [15]
Dan sabda beliau.
“Arti : Siapa diantara kalian ingin menunaikan shalat Jum’at maka hendaklah ia mandi” [16]
Yakni siapa yg bermaksud shalat Jum’at, (jadi) bukanlah takhyir ….
Adapun pengambilan dalil tdk wajib kurban dgn riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kurban untuk umat -sebagaimana diriwayatkan dalam “Sunan Abi Daud” (2810), “Sunan At-Tirmidzi” (1574) dan “Musnad Ahmad” (3/356) dgn sanad yg shahih dari Jabir- bukanlah pengambilan dalil yg tepat krn Nabi melakukan hal itu untuk orang yg tdk mampu dari umatnya.
Bagi orang yg tdk mampu menyembelih kurban, maka gugurlah dari kewajiban ini.
Wallahu a’lam
[Disalin dari kitab Ahkaamu Al-’iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthatharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, terbitan Putsaka Al-Haura, hal. 47-53, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note.
[1]. Lihat Minhajul Muslim (355-356)
[2]. Riwayat Ahmad (1/321), Ibnu Majah (3123), Ad-Daruquthni (4/277), Al-Hakim (2/349) dan (4/231) dan sanad hasan
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari (5562), Muslim (1960), An-Nasa’i (7/224), Ibnu Majah (3152), Ath-Thayalisi (936) dan Ahmad (4/312,3131).
[4]. Akan disebutkan bantahan-bantahan terhadap dalil yg dipakai oleh orang-orang yg berpendpt bahwa hukum menyembelih kurban ialah sunnah, nantikanlah.
[5]. Berkata Abu Ubaid dalam “Gharibul Hadits” (1/195) : “Atirah ialah sembelihan di bulan Rajab yg orang-orang jahiliyah mendekatkan diri kpd Allah dgnnya, kemudian datang Islam dan kebiasaan itu dibiarkan hingga dihapus setelahnya.
[6]. Diriwayatkan Ahmad (4/215), Ibnu Majah (3125) Abu Daud (2788) Al-Baghawi (1128), At-Tirmidzi (1518), An-Nasa’i (7/167) dan dalam sanad ada rawi bernama Abu Ramlah, dia majhul (tdk dikenal). Hadits ini memiliki jalan lain yg diriwayatkan Ahmad (5/76) namun sanad lemah. Tirmidzi menghasankan dalam “Sunannya” dan dikuatkan Al-Hafidzh dalam Fathul Bari (10/4), Lihat Al-Ishabah (9/151)
[7]. Jami ul-ushul (3/317) dan lihat ‘Al-Adilah Al-Muthmainah ala Tsubutin naskh fii Kitab was Sunnah (103-105) dan “Al-Mughni” (8/650-651).
[8]. Diriwayatkan Muslim (1977), Abu Daud (2791), An-Nasa’i (7/211dan 212), Al-Baghawi (1127), Ibnu Majah (3149), Al-Baihaqi (9/266), Ahmad (6/289) dan (6/301 dan 311), Al-Hakim (4/220) dan Ath-Thahawi dalam “Syarhu Ma’anil Atsar” (4/181) dan jalan-jalan Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha.
[9]. “Al-majmu” 98/302) dan Mughni Al-Muhtaj” (4/282) ‘Syarhus Sunnah” (4/348) dan “Al-Muhalla” 98/3)
[10]. Majmu Al-Fatawa (22/162-163).
[11]. Sama dgn di atas
[12]. Diriwayatkan Ahmad (1/214,323, 355), Ibnu Majah (3883), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1/114) dari Al-Fadl, namun pada isnad ada kelemahan. Akan tetapi ada jalan lain di sisi Abi Daud (1732), Ad-Darimi (2/28), Al-Hakim (1/448), Ahmad (1/225) dan pada ada kelemahan juga, akan tetapi dgn dua jalan hadits hasan Insya Allah. Lihat ‘Irwaul Ghalil” oleh ustadz kami Al-Albani (4/168-169)
[13]. Dalam ‘Al-Binayah fi Syarhil Hadayah” (9/106-114)
[14]. Yang dimaksud ialah kitab “Al-Hadayah Syarhul Bidayah” dalam fiqih Hanafiyah. Kitab ini termasuk di antara kitab-kitab yg biasa digunakan dalam madzhab ini. Sebagaimana dalam “Kasyfudh Dhunun” (2/2031-2040). Kitab ini mrpk karya Imam Ali bin Abi Bakar Al-Marghinani, wafat tahun (593H), biografi bisa dilihat dalam ‘Al-Fawaidul Bahiyah” (141).
[15]. Aku tdk mendpt lafadh seperti iin, dan apa yg setelah cukup sebagai pengambilan dalil.
[16]. Diriwayatkan dgn lafadh ini oleh Muslim (844) dan Ibnu Umar. Adapun Bukhari, ia meriwayatkan dan Ibnu Umar dgn lafadh yg lain, nomor (877), 9894) dan (919)
“Arti : Katakanlah : sesungguh shalatku, kurbanku (nusuk), hidup dan matiku ialah untuk Allah Rabb semesta alam tdk ada sekutu bagi-Nya” [Al-An’am : 162]
Nusuk dalam ayat di atas ialah menyembelih hewan dalam rangka mendekatkan diri kpd Allah Ta’ala.[1]
Ulama berselisih pendpt tentang hukum kurban. Yang tampak paling rajih (tepat) dari dalil-dalil yg beragam ialah hukum wajib. Berikut ini akan aku sebutkan untukmu -wahai saudaraku muslim- beberapa hadits yg dijadikan sebagai dalil oleh mereka yg mewajibkan :
PERTAMA
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Arti : Siapa yg memiliki kelapangan (harta) tapi ia tdk menyembelih kurban maka jangan sekali-kali ia mendekati mushalla kami” [2]
Sisi pendalilan ialah beliau melarang orang yg memiliki kelapangan harta untuk mendekati mushalla jika ia tdk menyembelih kurban. Ini menunjukkan bahwa ia telah meninggalkan kewajiban, seakan-akan tdk ada faedah mendekatkan diri kpd Allah bersamaan dgn meninggalkan kewajiban ini.
KEDUA
Dari Jundab bin Abdullah Al-Bajali, ia berkata : Pada hari raya kurban, aku menyaksikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Arti : Siapa yg menyembelih sebelum melaksanakan shalat maka hendaklah ia mengulang dgn hewan lain, dan siapa yg belum menyembelih kurban maka sembelihlah” [3]
Perintah secara dhahir menunjukkan wajib, dan tdk ada [4] perkara yg memalingkan dari dhahirnya.
KETIGA
Mikhnaf bin Sulaim menyatakan bahwa ia pernah menyaksikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Arafah, beliau bersabda.
“Arti : Bagi setiap keluarga wajib untuk menyembelih ‘atirah[5] setiap tahun. Tahukah kalian apa itu ‘atirah ? Inilah yg biasa dikatakan orang dgn nama rajabiyah” [6]
Perintah dalam hadits ini menunjukkan wajib. Adapun ‘atirah telah dihapus hukum (mansukh), dan penghapusan kewajiban ‘atirah tdk menghrskan dihapuskan kewajiban kurban, bahkan hukum tetap sebagaimana asalnya.
Berkata Ibnul Atsir :
‘Atirah hukum mansukh, hal ini ha dilakukan pada awal Islam.[7]
Adapun orang-orang yg menyelisihi pendpt wajib kurban, maka syubhat mereka yg paling besar untuk menunjukkan (bahwa) menyembelih kurban hukum sunnah ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Arti : Apabila masuk sepuluh hari (yg awal dari bulan Dzulhijjah -pen), lalu salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban maka janganlah ia menyentuh sedikitpun dari rambut dan tdk pula kulitnya”. [8]
Mereka berkata [9] :
“Dalam hadits ini ada dalil yg menunjukkan bahwa menyembelih hewan kurban tdk wajib, krn beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban ….” , seandai wajib tentu beliau tdk menyandarkan hal itu pada keinginan (iradah) seseorang”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah membantah syubhat ini setelah beliau menguatkan pendpt wajib hukum, dgn perkataan [10]
“Orang-orang yg menolak wajib menyembelih kurban tdk ada pada mereka satu dalil. Sandaran mereka ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Siapa yg ingin menyembelih kurban …..” Mereka Berkata : “Sesuatu yg wajib tdk akan dikaitkan dgn iradah (kehendak/keinginan) !” Ini mrpk ucapan yg global, krn kewajiban tdk disandarkan kpd keinginan hamba maka dikatakan : “Jika engkau mau lakukanlah”, tetapi terkadang kewajiban itu digandengkan dgn syarat untuk menerangkan satu hukum dari hukum-hukum yg ada. Seperti firman Allah :
“Arti : Apabila kalian hendak mengerjakan shalat maka basuhlah ….” [Al-Maidah : 6]
Dikatakan : Jika kalian ingin shalat. Dan dikatakan pula : Jika kalian ingin membaca Al-Qur’an maka berta’awudzlah (mintalah perlindungan kpd Allah). Thaharah (bersuci) itu hukum wajib dan membaca Al-Qur’an (Al-Fatihah-pent) di dalam shalat itu wajib.
Dalam ayat ini Allah berfirman :
“Arti : Al-Qur’an itu hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antara kalian yg ingin menempuh jalan yg lurus” [At-Takwir : 27]
Allah berfirman demikian sedangkan keinginan untuk istiqamah itu wajib”.
Kemudian beliau rahimahullah berkata [11] :
Dan juga, tdklah setiap orang diwajibkan pada untuk menyembelih kurban. Kewajiban ha dibebankan bagi orang yg mampu, maka dialah yg dimaksudkan ingin menyembelih kurban, sebagaimana beliau berkata :
“Arti : Siapa yg ingin menunaikan ibadah haji hendaklah ia bersegera menunaikan ….. ” [12]
Haji hukum wajib bagi orang yg mampu, maka sabda beliau : “Siapa yg ingin menyembelih kurban …” sama hal dgn sabda beliau : “Siapa yg ingin menunaikan ibadah haji ……..”
Imam Al-’Aini [13] rahimahullah telah memberikan jawaban atas dalil mereka yg telah disebutkan -dalam rangka menjelaskan ucapan penulis kitab “Al-Hadayah”[14] yg berbunyi : “Yang dimaksudkan dgn iradah (keinginan/kehendak) dalam hadits yg diriwayatkan -wallahu a’lam- ialah lawan dari sahwu (lupa) bukan takhyir (pilihan, boleh tdk -pent)”. Al-’Aini rahimahullah menjelaskan :
“Yakni : Tidaklah yg dimaksudka takhyir antara meninggalkan dan kebolehan, maka jadilah seakan-akan ia berkata : “Siapa yg bermaksud untuk menyembelih hewan kurban di antara kalian”, dan ini tdk menunjukkan dinafikan kewajiban, sebagaimana sabda :
“Arti : Siapa yg ingin shalat maka hendaklah ia berwudlu” [15]
Dan sabda beliau.
“Arti : Siapa diantara kalian ingin menunaikan shalat Jum’at maka hendaklah ia mandi” [16]
Yakni siapa yg bermaksud shalat Jum’at, (jadi) bukanlah takhyir ….
Adapun pengambilan dalil tdk wajib kurban dgn riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kurban untuk umat -sebagaimana diriwayatkan dalam “Sunan Abi Daud” (2810), “Sunan At-Tirmidzi” (1574) dan “Musnad Ahmad” (3/356) dgn sanad yg shahih dari Jabir- bukanlah pengambilan dalil yg tepat krn Nabi melakukan hal itu untuk orang yg tdk mampu dari umatnya.
Bagi orang yg tdk mampu menyembelih kurban, maka gugurlah dari kewajiban ini.
Wallahu a’lam
[Disalin dari kitab Ahkaamu Al-’iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthatharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, terbitan Putsaka Al-Haura, hal. 47-53, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note.
[1]. Lihat Minhajul Muslim (355-356)
[2]. Riwayat Ahmad (1/321), Ibnu Majah (3123), Ad-Daruquthni (4/277), Al-Hakim (2/349) dan (4/231) dan sanad hasan
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari (5562), Muslim (1960), An-Nasa’i (7/224), Ibnu Majah (3152), Ath-Thayalisi (936) dan Ahmad (4/312,3131).
[4]. Akan disebutkan bantahan-bantahan terhadap dalil yg dipakai oleh orang-orang yg berpendpt bahwa hukum menyembelih kurban ialah sunnah, nantikanlah.
[5]. Berkata Abu Ubaid dalam “Gharibul Hadits” (1/195) : “Atirah ialah sembelihan di bulan Rajab yg orang-orang jahiliyah mendekatkan diri kpd Allah dgnnya, kemudian datang Islam dan kebiasaan itu dibiarkan hingga dihapus setelahnya.
[6]. Diriwayatkan Ahmad (4/215), Ibnu Majah (3125) Abu Daud (2788) Al-Baghawi (1128), At-Tirmidzi (1518), An-Nasa’i (7/167) dan dalam sanad ada rawi bernama Abu Ramlah, dia majhul (tdk dikenal). Hadits ini memiliki jalan lain yg diriwayatkan Ahmad (5/76) namun sanad lemah. Tirmidzi menghasankan dalam “Sunannya” dan dikuatkan Al-Hafidzh dalam Fathul Bari (10/4), Lihat Al-Ishabah (9/151)
[7]. Jami ul-ushul (3/317) dan lihat ‘Al-Adilah Al-Muthmainah ala Tsubutin naskh fii Kitab was Sunnah (103-105) dan “Al-Mughni” (8/650-651).
[8]. Diriwayatkan Muslim (1977), Abu Daud (2791), An-Nasa’i (7/211dan 212), Al-Baghawi (1127), Ibnu Majah (3149), Al-Baihaqi (9/266), Ahmad (6/289) dan (6/301 dan 311), Al-Hakim (4/220) dan Ath-Thahawi dalam “Syarhu Ma’anil Atsar” (4/181) dan jalan-jalan Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha.
[9]. “Al-majmu” 98/302) dan Mughni Al-Muhtaj” (4/282) ‘Syarhus Sunnah” (4/348) dan “Al-Muhalla” 98/3)
[10]. Majmu Al-Fatawa (22/162-163).
[11]. Sama dgn di atas
[12]. Diriwayatkan Ahmad (1/214,323, 355), Ibnu Majah (3883), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1/114) dari Al-Fadl, namun pada isnad ada kelemahan. Akan tetapi ada jalan lain di sisi Abi Daud (1732), Ad-Darimi (2/28), Al-Hakim (1/448), Ahmad (1/225) dan pada ada kelemahan juga, akan tetapi dgn dua jalan hadits hasan Insya Allah. Lihat ‘Irwaul Ghalil” oleh ustadz kami Al-Albani (4/168-169)
[13]. Dalam ‘Al-Binayah fi Syarhil Hadayah” (9/106-114)
[14]. Yang dimaksud ialah kitab “Al-Hadayah Syarhul Bidayah” dalam fiqih Hanafiyah. Kitab ini termasuk di antara kitab-kitab yg biasa digunakan dalam madzhab ini. Sebagaimana dalam “Kasyfudh Dhunun” (2/2031-2040). Kitab ini mrpk karya Imam Ali bin Abi Bakar Al-Marghinani, wafat tahun (593H), biografi bisa dilihat dalam ‘Al-Fawaidul Bahiyah” (141).
[15]. Aku tdk mendpt lafadh seperti iin, dan apa yg setelah cukup sebagai pengambilan dalil.
[16]. Diriwayatkan dgn lafadh ini oleh Muslim (844) dan Ibnu Umar. Adapun Bukhari, ia meriwayatkan dan Ibnu Umar dgn lafadh yg lain, nomor (877), 9894) dan (919)