Dewan Kelautan pada 2010 akan memfokuskan salah satu kajiannya di bidang wisata bahari. Yakni dengan merumuskan kerangka kebijakan dalam konteks penataan kota-kota pantai. Dewan Kelautan melihat wisata bahari mempunyai peran besar untuk mendorong perekonomian masyarakat pesisir.
Itu disampaikan staf ahli Dewan Kelautan Bidang Pariwisata dan Bahari Abdul Ali Salam saat Sosialisasi dan Diskusi Kebijakan Kelautan bersama sejumlah pengambil kebijakan di Lamongan, kemarin di Ruang Sabha Dyaksa setempat. menurutnya, sejumlah event wisata bahari seperti Sail Bunaken dan Sail Indonesia terbukti mampu mendorong perekonomian masyarakat pesisir. Karena kegiatan itu memberi kontribusi pendapatan langsung pada masyarakat.
“Daerah kota-kota pantai selama ini terkesan kumuh dan perekonomiannya cenderung tertinggal dari kawasan lain. Karena itu perlu disusun sebuah kerangka kebijakan untuk melakukan penataan kota-kota pantai sehingga bisa menjadi ikon wisata bahari. Lamongan sendiri telah melakukan terobosan yang nampaknya perlu mendapat perhatian kami. Sukses WBL di pantutra Lamongan bisa dijadikan contoh kasus dan diangkat ke tingkat nasional sebagai bahan perumusan kebijakan untuk penataan kota pantai sebagai ikon wisata bahari, “ urai dia.
Secara nasional, lanjutnya, para pengambil kebijakan sebenarnya juga telah bersepakat agar di tahun 2025 Indonesia bisa menjadi destinasi wisata bahari tingkat dunia. Namun Abdul Ali juga menyampaika penataan kota pantai juga perlu untuk memeperhatikan mitigasi bencana (usaha mengurangi korban ketika bencana terjadi) di laut. Karena Indonesia memiliki kerentanan terhadap bencana vulkanik sehingga dimasukkan sebagai Negara sabuk api atau ring of fire.
Dia kemudian mencontohkan kasus sukses Chili yang memiliki kemampuan mitigasi bencana tinggi. Dengan gempa mencapai 8,8 skala richter, dampak bencananya sangat kecil. Bandingkan dengan gempa di Haiti yang mencapai 7,0 skala richter namun mengakibatkan korban jiwa mencapai sekitar 300 ribu orang, sementara di Chili hanya ratusan orang.